Identitas yang Hilang

Sebelum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) modern, kehidupan manusia cenderung egaliter. Sikap ke ‘ke-kitaan’ adalah prinsip hidup yang dijunjung dalam fase kehidupan ini. Dikehidupan awal manusia yang masih menganggap alam adalah bagian yang sakral. Bahkan manusia mengalami ketertundukan dan melakukan penyembahan terhadap alam. Inilah yang menyebabkan alam sangat dijaga kelestariannya dan tanpa eksploitasi yang berlebihan. Manusia hidup serba kecukupan karna alam masih menyediakan kebutuhan yang lebih. Babakan kehidupan ini dicirikan dengan kehidupan memetik dan meramu serta berpindah-pindah tempat (nomaden).

Kehidupan tersebut tidaklah statis. Perubahan waktu yang dilalui oleh berbagai peristiwa, baik secara alami maupun oleh modifikasi manusia. Pola kehidupan yang sebelumnya, telah mengalami dinamisasi menuju kehidupan dengan pola kehidupan yang berbeda. Hingga berujung pada kehidupan modernitas. Kehidupan ini ditandai dengan perkembangan IPTEK yang tinggi.

Ketika paradigma ‘milik-kita’ berubah menjadi ‘milik-ku’ maka disaat itulah telah terjadi ketimpangan sosial. SDA yang dihadirkan oleh Tuhan untuk kepentingan kolektif umat manusia telah dieksploitasi secara membabi-buta dan didominasi oleh segelintir manusia. Disinilah terjadi ketergantungan masyarakat kepada minoritas manusia dengan tidak manusiawi. Bukan hanya SDA yang dieksploitasi tanpa mempetimbangakan kerusakan lingkungan namun manusia juga telah dieksploitasi tanpa memperhatikan kemanusiaan. Konsekuensi yang timbul adalah strata sosial semakin jelas yang menandakan kehidupan yang tidak seimbang.

Untuk memperjelas maksud tulisan ini, maka penulis membatasi hanya pada perspektif identitas ‘kebersamaan (egaliter)’. Kebersamaan adalah sebuah term yang memiliki makna tentang ketidakadaan dominasi dan ekploitasi manusia karna perebutan ekonomi. Namun predikat ini telah kabur dan tengah menuju ketiadaan. Perebutan kebutuhan ekonomi menyebabkan manusia menafikan kejasama untuk kepentingan bersama dan cenderung individualistis. Realitas ini terjadi sebagai imbas dari keserakahan manusia sepeti pada mayoritas manusia abad modern sekarang ini.

Seorang intelektual India, Mahatma Gandi, mengatakan ‘alam ini cukup bagi manusia yang butuh dan tidak cukup bagi manusia yang serakah’. Dalam siklus mata rantai kehidupanpun menjelaskan demikian, dimana produsen (SDA) harus lebih banyak dari konsumen (manusia). Ketika yang terjadi sebaliknya maka kemusnahan kehidupan tak terhindarkan karna kebutuhan manusia tidak cukup (kekurangan). Kekurangan SDA inilah yang dirasakan saat ini bagi sebagian besar manusia karna ulah manusia-manusia serakah yang indivialistis.

Sehingga kita dapat menjawab pertanyaan: kenapa banyak manusia yang masih miskin dan kekurangan? Misalnya yang terjadi di negara kita, Indonesia. Indonesia yang dikenal dengan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah tapi banyak rakyatnya yang miskin. Kemiskinan terjadi karna ketidakmampuan manusia mengakses SDA. Alangka tidak rasional, jika Tuhan menciptakan manusia kemudian tidak dilengkapi dengan fasilitas untuk mempertahankan hidupnya.

Sebab kesukaran mengakses atau memperoleh SDA termasuk makanan, bukan karna kemalasan manusia. Secara fitrahnya manusia memiliki keinginan untuk mempertahankan dan berjuang mempertahankan hidupnya. Namun paradigma individualisme-lah yang menyebabkan sebagaian besar penduduk bumi sulit mempereloh kebutuhannya. Dan kebutuhan manusia itu akan didapatkan dengan kecukupan apabila paradigma kebersamaan/ke-kitaan digunakan oleh seluruh manusia

Jika manusia menanamkan nilai-nilai kebersamaan dalam hidupnya maka sesungguhnya kemiskinan dan kekurangan tidak akan terjadi. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan derajat yang sama? Yang hanya membedakan adalah tingkat pengabdian kepada-Nya. Secara empiris keadaan sekarang telah tercipta derajat yang berbeda yang diciptakan oleh manusia. Karna yang terjadi adalah sikap ke-akuan yang kental telah mengisi paradigma manusia. Sehingga melahirkan sikap individualisme dan egoisme. Dengan kata lain identitas kehidupan manusia dengan pola ‘kebersamaan’ tergeser menjadi ‘keakuan’.


Komentar