Cinema: Alternatif Gerakan Mahasiswa

Sebenarnya cinema (film) bukanlah hal yang baru dikalangan mahasiswa ataupun masarakat umum. Cinema bisa dibilang adalah fenomena yang melekat dalam dunia globalisasi sekarang. Bahkan perdebatan mengenai cinema kini selalu menjadi topik hangat karena mempunyai efek yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat. Tapi yang ingin dibicarakan dalam tulisan ini adalah mencoba memaparkan dan menawarkan gerakan sosial baru dalam media cinema khususnya dikalangan mahasiswa.

Ketika kita membincangkan gerakan mahasiswa, maka pikiran kita tertuju pada aksi demonstrasi jalanan. Mungkin juga tulisan-tulisan penguatan wacana atau propaganda tapi masih tergolong minim. Lagi pula demonstrasi jalanan sudah terstigmatisasi negatif karena ulah para demonstran yang kerap memacetkan jalan dan tindakan anarkisnya. Hasilnya pula kurang membuahkan hasil yang signifikan. Sehingga alang baiknya harus ada formulasi gerakan baru yang lebih kreatif.

Mungkin kita pernah menonton film yang berjudul ‘Alangka Lucunya Negeri Ini’ atau ‘GIE’. Film ‘alangka lucunya negeri ini’ menceritakan tentang keironisan kondisi negeri kita yang penuh dengan masalah. Sedangkan ‘gie’ menceritakan tentang sejarah (kisah nyata) perjuangan seorang aktivis mahasiswa yang hidup di era orde lama dan orde baru. Setelah dia berhasil menumbangkan orde lama dan ikut membangun orde baru ternyata dia kembali harus melawan orde baru karena kepemipinannya yang otoriter. Ketika menonton kedua film ini, pengaruh bagi penonotonya cukup signifikan. Film ini dengan mudah memunculkan inspirasi dan membangkitkan semangat perlawanan kita terhadap tirani negeri ini.

Berangkat dari film ini, maka perlu menggunakan alternatif cinema sebagai langkah baru dalam mengkreatifkan gerakan mahasiswa. Cinema memilki banyak kelebihan dibanding aksi demonstrasi jalanan ataupun melalui tulisan-tulisan. Kalau demonstrasi jalanan, dominan yang ditonjolkan audiotoris dan miskin visual. Sedangkan tulisan hanya memperlihatkan barisan-barisan kata yang bisu dan miskin audiotoris. Jika kita melihat cinema maka dia memiliki kelebihan dibanding kedua model gerakan yang disebutkan sebelumnya. Cinema memiliki kemampuan visualisasi dan audiotoris yang dengan mudah membangkitkan inspirasi dan semangat bagi yang mengonsumsinya.

Namun tidak bijak, jika kita membicarakan kelebihannya kemudian tidak membicarakan kelemahannya. Seperti yang dikatakan sebelumnya, cinema dapat dengan mudah membangkitkan semangat juang bagi yang mengonsumsinya. Tapi perlu juga diketahui bahwa tidak semua cinema kecuali cinema yang relevan dengan kebutuhan penontonnya dalam hal ini kebutuhan gerakan mahasiswa. Sedangkan di Indonesia sekarang, cinema yang bernuansa gerakan mahasiswa masih sangat minim.  Justru yang mendominasi dunia cinema kita lebih condong pada budaya populer yang justru mencerabut nilai-nilai kearifan yang kita miliki. Selain itu produksinya pun membutuhkan biaya yang cukup banyak dan energi yang lebih.

Tapi terlepas dari kelemahanya, kiranya menjadi tawaran alternatif baru dalam gerakan mahasiswa. Agar mahasiswa sadar bahwa gerakan butuh kreativitas. Bukankah sejarah telah bercerita tentang gerakan mahasiswa? Tentang bagaimana mahasiswa selalu merubah setiap bentuk, strategi dan taktik gerakannya?.

Komentar