Pengkaderan mahasiswa dan kekerasan.

Seperti biasa, momentum-momentum seperti itu telah menjadi rutinitas. Bagi kalangan mahasiswa terlebih pengurus-pengurus lembaga kemahasiswaan internal kampus ini sebuah keharusan untuk melanjutkan kontiunitas organisasi. Pasti alasannya ingin merubah mindset (pemikiran) atau paradigma berpikir mahasiswa baru sekaligus sebagai penggerak roda organisasi kedepan.
 
Adalah pengkaderan atau penerimaan anggota baru yang menjadi kegiatan itu. Dari tahun ke tahun tepatnya di awal tahun ajaran baru, hal ini merupakan pendangan yang lumrah terjadi.

Sore itu, saya berjalan melewati sebuah koridor gedung yang yang mampu menampung hingga 6000 manusia. Terlihat beberapa mahasiswa yang menikmati duduk sambil menikmati cemilan, berdiskusi, bagi para senior (pengurus lembaga) kemahasiswaan mereka sedang ‘mengkader’ para mahasiswa baru  hingga ada juga yang hanya sekedar duduk santai melepas kepenatan rutinitas perkuliahan yang sumpek. Namun yang membuat saya sempat berhenti sejenak, ketika saya mendengar seorang mahasiswa baru meneriakan sebuah kalimat atas suruhan seniornya.

“…kami manusia merdeka…”

Kalimat ini cukup menggelitik dan sedikit lucu menurut saya. Pasalnya system pengkaderan yang diberlakukan oleh para senoirnya tidak banyak berubah. Adapun ada perubahan tapi substansinya tetap sama. Caranyapun cenderung kolot dan tak mau menyerap dinamika kezamanan agar pengkaderannya memiliki kontekstualitas.  Tindakan kontak fisik menjadi pemandangan yang lumrah ditemui dalam momentum pengkaderan.  

Ucapan seorang mahasiswa baru tersebut justru kontraproduktif dengan perlakukan oleh senior-seniornya. Bahkan beberapa kali para mahasiwa baru mengumandangkan sumpah sakral mahasiswa Indonesia. Salah satu poinnyai : “kami mahasiwa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan”. Justru kontak fisik yang terjadi adalah bentuk penindasan senior-seniornya.  Lagi-lagi kontradiksi dengan perlakuan yang diterima dengan yang dikumandangkan.

Hemat saya, cara-cara kekerasan fisik sangat tidak relevan dengan kekinian. Jika menginginkan perubahan paradigma yang harus dirubah ada paradigmanya pula yaitu dengan sentuhan-sentuhan pemikiran. Sehingga panggang tidak jauh dari api.

Makassar, 9 Oktober 2012

Komentar