Toko buku yang memusingkan

Alunan musik yang lembut seolah mengayun-ayun jiwa menjadi ke khasan tersendiri saat itu. Langkah demi langkah ku ayunkan kakiku sembari melihat deretan buku-buku di etalase. Perlahan ku angkat lalu membaca satu persatu sambil sesekali ku lemparkan pandangan pada orang-orang di sekitarku. Mereka tak beda dengan diriku saat itu yang sedang mencari buku untuk dibeli bahkan hanya untuk sekedar membaca tanpa harus memilikinya. Atau mungkin juga, hanya sekedar jalan-jalan menikmati pemandangan di dalam ruangan itu.

Sedikit ku baca sampel buku yang telah di buka sampul plastik beningnya (segelnya). Ku tutup lagi dan letakan pada tempat semula. Demikian yang aku lakukan jika tak tertarik pada isi sebuah buku. Meskipun selalu memusingkan kepala, tapi perasaan yang menyenangkan selalu menghampiriku setiap berada dalam di tempat ini. Bahkan selalu menjadi rencana sebagai salah-satu destinasi pribadi tatkala tubuh ini merasa jenuh.

Toko buku, inilah nama tempat itu. Tempat ini sangat menginpirasiku meski memusingkan. Memusingkan karena sungguh banyak buku yang membuatku tertarik untuk membacanya tapi tak memiliki uang yang cukup untuk memilikinya. Inilah mungkin yang di katakan, cinta tak harus memiliki (sedikit lebai, hehehe).

Suara batuk itupun terdengar. Ternyata bersumber dari seorang kakek yang menggandeng seorang cucunya berjalan di sampingku. Mereka ibaratnya sahabat sejati layaknya aku dan temanku yang di dalam toko buku itu. Ada kekaguman yang telihat pada sosok seorang kakek, meskipun usianya telah senja namun semangat belajarnya tak pernah surut malah semakin meningkat. Dengan membawa keranjang buku, si kakek memasukan satu persatu buku yang disukainya dan tak lupa menyuruh agar si cucu mengikuti apa yang dilakukannya. Si cucu pun tak kalah cekat, tangannya segera mengambil buku-buku yang disukainya dan dimasukan dalam keranjang buku yang mereka bawa.

Semangat belajar si kakek dan cucunya hanyalah oase dari dari sekian banyak orang Indonesia yang kurang minat terhadap budaya baca. Selain telah banyak penelitian terhadap masalah ini, mungkin saya bisa gunakan indikator yang lain pula. Kebetulan toko buku yang saya kunjungi, tergolong toko buku yang terbesar di kota tempat saya menuntut ilmu bahkan di Indonesia. Apalagi toko buku ini cukup strategis yakni sengaja ditempatkan di pusat perbelanjaan agar banyak yang berkunjung ke tempat ini. Namun yang tampak, dari ratusan bahkan ribuan yang datang ke pusat perbelanjaan itu sedikit dari mereka yang menyempatkan diri untuk sekedar masuk apalagi untuk membaca bahkan untuk membeli.

Meskipun itu, kekaguman kembali mencuat tatkala membaca deretan buku-buku yang begitu banyak. Sungguh hebat dan luar biasa para penulis-penulis yang berhasil mengukir ide-idenya dalam sebuah buku. Mereka mampu melahirkan ide kemudian mengikatnya dan mengabadikannya melalui tulisan-tulisan. Inilah seni yang tak semua orang mampu melakukannya dan hanya orang-orang yang mampu melincahkan kemudian menyelaraskan antara tangan dan pikirannya untuk mengukir kata demi kata kemudian menjadi kalimat, dari kalimat menjadi paragraf hingga akhirnya bermetamorfosis menjadi buku.

Masih berat hati untuk meninggalkannya, namun harus meninggalkannya juga. Usai pusing memilih mana buku yang ingin ku miliki, ku putuskan untuk memilih cukup satu saja untuk membawanya ke kasir. Sebenarnya hasrat untuk membeli sebanyak mungkin buku tidak bisa aku nafikan namun hasrat itu harus dipuasakan karena tak memiliki cukup uang untuk membayarnya.

Segera, langkah kaki terus terayun sembari sesekali kepala masih menoleh pada toko buku yang semakin lama semakin bersembunyi hingga hilang sama sekali bagai api yang padam seketika. Meskipun masih menyisakan rasa penasaran dan gejolak pemikiran usai membaca beberapa buku, namun lagi-lagi aku hanya bisa berharap. Harapanku, ingin kembali ke toko buku ini untuk membeli semua buku yang menarik bagiku. Mudah-mudahan semua akan indah pada waktunya.

Komentar