Aku dan Gadis Kecil Pemulung

Tiba-tiba aku berhenti, yang sedang mengendarai sepeda motor. Di pinggir jalan aku melihat seorang gadis kecil yang menemani ibuya sedang mengai-ais sampah. Lalu lalang kedaraan serta polusinya sudah menjadi pemandangan kesehariannya. Yang dia lakukan hanyalah satu-satunya cara yang dimiliki untuk mempertahankan keras kehidupan. Sampah-sampah itu akan di tukar dengan uang yang nantinya akan di ubah menjadi sesuap nasi.

Harusnya gadis kecil yang cantik nan lucu ini, seperti anak-anak seumurannya. Di manja oleh keluarganya, di cium oleh ayah ibunya, mengerjakan tugas sekolah atau tidur pulas serta mimpi indah. Tapi dia bukanlah gadis yang beruntung itu. Dia harus mengeluarkan sisa-sisa energinya untuk menaklukan malam yang penuh dengan kompetisi. Dari raut wajahnya tergambar, malam itu cukup melelahkan baginya.

“Bagaiman mungkin, gadis kecil ini harus memulung sampah-sampah yang kotor ini?” desisku dalam hati seolah protes terhadap kehidupan. Kasian dia. Meskipun itu, tak tampak dalam raut wajahnya keluh kesah. “Tuhan ada apa dengan negeri ini, yang alamnya kaya raya akan alam tapi gadis kecil ini harus menjalani hidup seperti ini?, dimana pemimpin?” mengharapkan pemimpin negeri, sangat pesimis rasanya. Mereka hanya asik mengurus urusannya sendiri, mereka jarang turun melihat langsung kehidupan rakyatnya seperti gadis kecil ini. Kita sudah banyak dibohongi dengan janji-janji kosong yang dibungkus dengan retorika yang indah. Pun sistem yang digunakan untuk mengurus negeri ini sangat kacau balau.

Rasa ibaku tak dapat ku tahan lagi. Mata mulai berkaca-kaca melihat si gadis kecil pemulung yang masih saja terbongkok mengais di tong sampah. Aku tertegun, melamun menyaksikan kondisi ini. Tanpa di sadari si gadis kecil dengan wajah dan baju yang kotor berjalan ke arahku. Sontak aku tersadar dari lamunan. Dia terus berjalan mendekat. Aku baru sadar ternyata aku sedang berada di dekat sampah-sampah yang akan di ambilnya. Dia ingin membersihkan tempatku berdiri dari sampah-sampah yang mengotori. Segera ku rogoh sedikit uang kiriman dari orangtua di kampung, kemudian ku berikan pada gadis kecil ini. “Trimaksih kak” dia bersuara dengan tersenyum dan suara yang lembut. “iya, sama-sama dek”. Kemudian segera ku tinggalkan dia. “Tuhan cukupkanlah rizkinya, angkatlah kemiskinannya, jadikanlah gadis kecil ini menjadi gadis soleha demikian jg ibunya, amin” sepenggal desisku dalam hati.

~Makassar, disuatu malam, 22 Oktober 2013

Komentar