Orang baik dan orang jahat

Banyak yang kaget dengan tertangkapnya oleh penegak hukum KPK (komisi pemberantas korupsi) orang yang selama ini dianggap baik oleh kebanyakan orang. Kasus ini terjadi di Sulawesi Selatan yakni pada Gubernurnya yang selama ini memiliki prestasi yang baik. 

Tapi apa mau dikata, penangkapan yang dilakukan oleh KPK tersebut membuat bangunan kepercayaan yang selama ini telah dibangun akhirnya harus runtuh seketika. Memang benar, bahwa penetapan tersangka, tidak serta merta pasti salah. 

Dalam hukum di Indonesia, status tersangka adalah masih didefinisikan “dugaan” atau belum bersalah. Salah tidaknya akan dibuktikan di pengadilan nanti. Tapi kalau pengalaman-pengalaman yang sudah ada, operasi tangkap tangan biasanya membuat orang yang tertuduh tersebut susah mengelak. Alias benar-benar salah. Tapi kita tunggu proses hukum bekerja. 

Selain itu, banyak masyarakat yang tidak paham dengan status tersangka. Seolah sudah pasti salah. Tersangka berarti salah. Akhirnya persepsi publik terhadap sang gubernur akan otomatis jelek. Karena penangkapan itu, banyak orang yang menyayangkan sosok Gubernur tersebut. 

Pasalnya, rekam jejaknya selama ini adalah orang yang punya integritas. Apalagi sebelumnya sudah pernah menjadi pemimpin selama dua periode di salah satu kabupaten di Sulsel. Dan namanya cukup harum. Belum lagi, beliau adalah salah satu guru besar di salah satu kampus negeri di Makassar.

Meskipun itu, tidak berarti rekam jejak akan menentukan masa depan. Hari-hari kedepan bagi setiap orang masih misterius. Segala kemungkinan masih akan bisa terjadi. Orang baik bisa jadi akan berbuat salah. Dan orang salah bisa jadi akan berbuat baik. Kata orang bijak, “setiap orang baik punya masa lalu dan setiap orang jahat punya masa depan”. Pepatahnya nyambung kira-kira? Terserah. Haha. 

Dengan kata lain, manusia punya potensi untuk benar dan salah. Belum lagi, dalam konsep islam, iman setiap orang naik dan turun. Seorang kiayi yang digambarkan sebagai orang soleh, bisa saja terpeleset berbuat kesalahan karena imannya lagi lemah. 

Banyak juga orang menyalahkan sistem politik kita yang berbiaya mahal. Saat mendaftar jadi gubernur/bupati/walikota/presiden/anggota dewan hingga terpilih butuh dana yang tidak sedikit. Setelah terpilih, banyak dari mereka berupaya mencari cara agar dana yang dikeluarkan saat proses politik tersebut dapat kembali. 

Syukur-syukur kalau menang dalam pilkada atau sejenisnya, kalau kalah? Apes. Ada yang sampai gila karena harta mereka sudah habis. Kalau yang berhasil terpilih, gajinya kalau di hitung-hitung tidak bisa mengembalikan dana yang dikeluarkan saat proses politik hingga terpilih.

Kembali ke sistem politik yang rusak ini. Jadi kalau dianalogikan, kira-kira seperti ini. Ada orang singapur yang terbiasa antri saat mengambil karcis di negaranya. Atau dengan kata lain, dia jadi orang yang teratur dan taat aturan di negaranya. 

Suatu hari, dia datang ke Indonesia. Dia ingin mengambil karcis. Namun, di Indonesia sistemnya kacau balau. Orang-orang tidak antri dan harus berebut sehingga berantakan. Ada juga pake cara cepat yakni dengan menyogok atau pakai “orang dalam”. Jadilah orang singapur ini orang yang tidak taat aturan. Kata Upin dan Ipin: No Akhlak. 

Sebelumnya jadi orang baik di sistem yang mengantri, tapi ketika sistemnya semrawut (tidak mengantri) akhirnya dia ikut-ikutan semrawut. Kurang lebih seperti itu maksudnya. Banyak orang yang menggunakan alasan ini kenapa sang Gubernur terjerat kasus korupsi tersebut.

Tapi jika alasan sistem yang jelek menjadi satu-satunya alasan, saya kira ini tidak bijak. Selain alasan yang seperti saya jelaskan di awal tadi bahwa ada faktor iman yang lemah. Alasan lainnya adalah dengan menganggap sistem yang rusak membuat orang ikut rusak, berarti secara tidak langsung menganggap manusia adalah mahkluk yang tidak merdeka. Makhluk yang tidak memiliki pilihan untuk jadi baik atau buruk. 

Seolah kita hanya digerakan oleh sistem, tanpa memiliki kekuataan untuk melawan. Banyak orang yang tidak korupsi di sistem politik yang buruk ini. Artinya ada tekad kuat dari seorang individu (politisi) untuk selalu menjadi orang baik di tengah sistem yang jahat. 

Jadi, mari kita tunggu, bagaimana akhir cerita ini. Katakanlah, dengan asumsi pak Gubernur benar mencuri uang, secara jumlah uang yang diambil sih tergolong sedikit dibanding banyak koruptor kelas kakap, eh, kelas cakalang atau malah paus. 

Hanya saja menurut saya dengan melihat pengalaman-pengalaman yang ada, para koruptor level “wow” ini punya kemampuan untuk membuat penegak hukum tidak berdaya. Jadi mereka sekarang masih bisa santai kayak di pantai. Sultan bebas.

~Bau-bau, 28 Februari 2021

Komentar