Dua orang yang sulit dinasihati


Saya semakin malas buka media sosial yang banyak memfasilitasi debat. Apalagi sekarang sementara lagi hangat diskusi tentang aksi terorisme di Makassar yang beberapa hari lalu terjadi. 

Di masyarakat Indonesia sekarang mengalami keterbelahan (polarisasi) yang cukup tajam. Jika ada sebuah isu maka akan melahirkan dua kelompok masyarakat: yang pro dan yang kontra. Ada juga yang berdiri di tengah dan di luar kelompok itu tapi tidak akan dibahas di sini. Yang pastinya dua kelompok tersebut cukup ramai dan dominan dalam jagad debat. 

Apalagi jika isu itu berkaitan dengan pemerintah atau kekuasaan. Bahkan sesuatu yang sebenarnya jauh dari keterkaitan dengan pemerintah pun akhirnya dicarikan celah untuk dikaitkan. Dua kelompok ini akan sulit dinasihati, karena argumen mereka lebih dilandasi suka dan benci. Tidak pada rasionalitas benar atau salah. Demikian masyarakat Indonesia hari ini. Tidak tahu bagaimana kedepannya nanti.

Media sosial yang saya paling sering buka adalah WhatsApp (WA). Di media ini saya punya banyak grup. Kalau dihitung-hitung baik yang aktif maupun yang tidak lagi sekitar 80-an grup WA. Banyak temanku yang kaget dan heran mengetahui jumlah grup WA dimana saya berada didalamnya. Dan saya pun sebenarnya heran, kenapa jumlahnya sampai sebanyak itu. hahaha.

Ada salah satu grup yang saya biarkan saja. Sudah lama saya tidak membukanya. Penuh dengan chat. Isinya banyak debat. Saya sudah tau karakter penghuninya. Hampir semuanya terkategori dua kelompok tadi yakni kelompok yang mendasarkan argumennya pada suka dan benci, bukan rasionalitas benar dan salah. Tidak peduli pendidikanmu setingkat mana. Mau professor atau tidak ikut dalam pendidikan formal sama sekali misalnya, jika sudah masuk pada dua golongan tadi maka kamu akan tampak dungu dan goblok. Sulit bahkan tidak mau dinasihati dan menerima kebenaran.

Pernah saya menceburkan diri dalam diskusi di salah satu grup WA. Karakter orang-orang di grup tersebut banyak yang seperti itu. Memang ada juga yang memilih jadi pembaca saja. Tidak mau dan malas berkomentar. Atau bisa jadi tidak hobi diskusi atau debat dan memilih jadi penikmat saja.

Dalam suatu topik saya menanggapi sebuah pernyataan dari seorang yang sedang menempuh studi doktornya di luar negeri, di salah satu kampus top. Saya memberikan argumen tentang sebuah kebenaran yang sebenarnya sudah jamak diketahui orang tapi dia tetap tidak mau menerima. 

Analoginya seperti ini, saya bilang 1+1=2. Dia bilang salah karena pemerintah yang dia dukung katakan 1+1=3. Para penghuni grup tersebut terheran-heran kenapa dia sampai seperti itu. Bahkan dia ditegur. Tapi orang-orang di dalam grup akhirnya kembali sadar. Sadar bahwa jika diskusi dalam masalah pemerintahan tersebut dia bangun di atas suka dan benci atau fanatisme, maka jadinya akan seperti itu: tidak ingin menerima kebenaran. 

Kalau dalam istilah akademiknya, ini bagian dari “post truth”. Salah satu cirinya adalah seperti orang tersebut atau dua kelompok yang saya jelaskan di atas tadi. Bahwa mereka hanya ingin mendengar, menerima dan membaca informasi yang membenarkan keyakinan awalnya. Membenarkan hal yang dia sukai. Membenarkan hal yang dia benci. Ujung-ujungnya akan diidap fanatisme yang akut. Kira-kira seperti itu. 

Setelah selesai melayani orang tadi, saya akhirnya tidak berniat lagi nimbrung di grup itu. Bahkan sudah ribuan chat yang masuk dan saya tidak buka. Singkat cerita, akhirnya grup itu dibubarkan/dihapus karena kegoblokan dan potensi konflik sudah begitu terang benderang.  

Sepertinya benar, ada dua kelompok yang sulit dinasihati. Pertama, orang yang sedang jatuh cinta. Dan kedua, orang fanatisme seperti orang di atas atau dua kelompok tadi.

Membaca dan mengetahui informasi memang penting. Namun di era ledakan perkembangan informasi dan teknologi seperti hari ini, saya rasa perlu kita selektif dan kritis dalam melahap informasi. Jika tidak, maka bisa akan berubah jadi sampah yang kotor dalam pikiran.

~Baubau, 30 maret 2021. Saya sebenarnya ingin berdiri untuk mendidihkan air untuk menyeduh kopi tapi,,,, sepertinya saya tidak akan lakukan. Tidak ingin begadang tapi suka begadang. Bagaimana kira-kira itu di?
 

Komentar

Posting Komentar