Covid 19; baiknya sekolah dibuka saja


Acara pernikahan diizinkan sedangkan sekolah diliburkan. Hal ini yang terjadi di kampung saya. Banyak orang tua yang mengeluh tentang perihal ini. Alasannya Karena anak-anak mereka tidak lagi bisa belajar secara efektif. “Anak-anak akan bodoh”, kata salah satu orangtua dengan kecewa.
 
Pernyataan tersebut benar karena belajar langsung di kelas (offline) merupakan model belajar yang paling cocok untuk anak-anak di kampung saya. Model belajar secara online sangat tidak cocok. Banyak masalah tentunya. Salah satunya anak-anak lebih banyak menggunakan “smart phone”nya untuk game online dibanding belajar.

Kurang lebih sejam yang lalu, saya menonton televisi. Tidak sengaja saya berpindah ke acara diskusi terkait pendidikan di era pandemi covid 19. Topiknya adalah “Sekolah dibuka: orang tua dan guru ‘was-was’”. Membaca topik ini, pikiran saya terlintas “Waduh, akan online lagi ini. Tambah bodoh anak-anak sekolah”.  

Terus terang, saya ingin agar sekolah di kampong saya di buka saja. Apapun kondisinya. Jika ketakutan pemerintah jangan sampai dengan adanya aktivitas belajar dan mengajar di sekolah bisa mempermudah penularan Covid19 karena akan terjadi kerumuman, saya kira tanpa sekolah dibuka pun kerumunan di kampung saya selalu terjadi. 

Selain acara pernikahan yang di izinkan dengan mengundang dan mendatangkan banyak orang tanpa protokol kesehatan, juga anak-anak bermain di luar sekolah terjadi secara berkerumum. Hal ini merupakan pemandangan yang umum di kampung saya. Lantas kenapa sekolah harus ditutup? Inilah pertanyaan yang selalu menggelisahkan saya.

Dari observasi yang saya lakukan, bisa dikatakan semua guru dan orangtua sangat ingin sekolah dibuka agar proses belajar mengajar terjadi dengan baik. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa jika atasan (pemerintah) tidak mengizinkan. 

Posisi ini serba salah. Ingin membuka sekolah ada larangan dari pemerintah. Sementara itu, sekolah ditutup untuk menghindari kerumunan tapi kerumunan di luar sekolah tetap terjadi. Tentunya siswa-siswa yang paling dirugikan dalam masalah ini.

Terkait topik diskusi di tivi di atas “Sekolah dibuka: orang tua dan guru was-was”, saya agak marah. Karena lagi-lagi media kita terlalu Jakarta atau jawa sentris. Kejadian-kejadian di Jakarta/jawa dianggap mewakili semua kondisi di berbagai pelosok masyarakat Indonesia. 

Diskusi tersebut secara langsung maupun tidak telah membentuk dan menggiring opini publik akan resiko dengan dibukanya sekolah. Padahal seperti yang saya singgung sebelumnya bahwa di kampung saya tidak seperti yang digambarkan di televisi. Orang tua dan guru tidak ada yang was-was. Apalagi data terbaru, di kampung saya sudah tidak ada yang positive covid 19 atau sudah masuk zona hijau.

Memang pemerintah pusat pernah menyerahkan kebijakan terkait perihal ini ke pemerintah-pemerintah daerah, tetapi pemerintah daerah juga sepertinya tidak serius. Pasalnya, realitas yang saya ceritakan di atas tentang kampung saya tidak mampu ditangkap dengan baik oleh pemerintah daerah. 

Banyangkan saja, ada teman guru yang mengajar di salah satu desa di kampung saya. Siswa yang dia ajar cuma 2 orang. Jadi satu ruangan cuma 3 orang dengan dia. Apakah mereka harus tidak sekolah di kelas dengan kondisi ini? Padahal posisi duduk bisa diatur dengan berjarak sesuai dengan protokol kesehatan. Teman saya tadi heran kenapa dia tidak boleh ke sekolah untuk mengajar? 

Ini bukti bahwa pemerintah tidak serius menangapi masalah ini. Padahal jamak diketahui bahwa pendidikan adalah modal utama untuk memajukan masyarakat. Pemerintah lebih fokus pada urusan kekuasan “siapa dapat apa”. Belum lagi dalam perkembangan covid 19, sering ditemukan tidak adanya kordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Di situlah kadang saya merasa sedih.

Suatu malam, saya kerumah sepupu. Ada anak SD datang untuk meminta bimbingan terkait tugas sekolahnya. Tugasnya tentang bacaan di buku yang berlembar-lembar. Kurang lebih ada 5 soal yang butuh sedikit analisa. 

Saat saya dan sepupu menyuruhnya untuk membaca soal dan mencari jawabannya, ternyata hal miris yang saya dapatkan. Dia belum lancar membaca. Dia masih mengeja untuk bisa membaca dengan baik. Bagaimana mungkin bisa menjawab soal yang diberikan gurunya tersebut? Saya sedih. 

Covid sudah hampir dua tahun, sekolah masih berlangsung secara online. Selama itu proses belajar tidak berjalan dengan baik. Guru yang tidak melek tekhnologi, sinyal internet yang buruk dan berbagai kerumitan lainnya. Namun, mau tidak mau siswa harus tetap naik kelas. Kata seorang orangtua “tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak menaikan siswa-siswa ke kelas yang lebih tinggi”. Karena semua ini, saya sedih dan marah.

 ~Bau-bau, 29 Agustus 2021

Komentar