Akhirnya tidak jadi bayar


Hari jumat kemarin (18/02/2022), tepatnya menjelang shalat jumat. Adikku memanggilku yang sedang bersiap untuk mandi. Mandi persiapan shalat jumat. Ia menyampaikan ada seorang ibu rumah tangga – istri sepupuku – yang meminta tolong. Ia didatangi oleh seorang sales yang ingin menagih harga barang yang dibelinya. Harganya masih 50 ribu, dari total 100 ribu.

Ia meminta tolong ke saya karena sales itu membohonginya. Si sales datang dengan modus sosialisasi penggunaan kompor gas, padahal ia menjual alat kompor gas. Dalam promosinya (ia menyebutnya sosialisasi), ia menyampaikan informasi palsu bahwa akan ada bantuan kompor gas dari pemerintah yang akan dibagi-bagikan ke para ibu rumah tangga. 

Sayangnya, ibu-ibu mudah termakan oleh tipu muslihat mereka. Pasalnya, para ibu rumah tangga tidak punya pikiran kritis. Apalagi ketika sudah disampaikan akan ada bantuan, maka mereka mudah percaya begitu saja. Ini tidak bisa lepas dari masalah ekonomi yang ikut berkontribusi.

Cara kerja si sales juga cukup rapi. Wajar saja, karena mereka sebelum turun lapangan, terlebih dahulu telah mengikuti training. Mereka sudah menyiapkan segara cara agar misi mereka sukses. Cara lainnya lagi adalah agar ibu-ibu percaya maka mereka disuruh untuk menulis nama pada kertas yang sudah disediakan. Kata si sales, nama-nama tersebut akan disetor untuk laporan. Ibu-ibu pun percaya dengan begitu saja. “Nama kami sudah ditulis, berarti kami masuk dalam nama penerima bantuan,” demikian pikiran para ibu tersebut. Kertas itu pun diambil oleh si sales dan memasukannya ke dalam tas miliknya.

Inilah yang membuat ibu-ibu semakin yakin. Padahal yang memiliki wewenang memberi bantuan pemerintah, yah pemerintah sendiri. Biasanya akan disalurkan melalui pemerintah di tingkat kelurahan atau desa. Tapi sayang sungguh sayang, ibu-ibu tidak berpikir sampai kesitu. Memang para ibu (maaf) banyak yang tidak berpendidikan tinggi. Apalagi sudah termakan dengan teknik promosi dan hipnotis si sales.

Cara lain si sales dalam menipu adalah dengan mengatakan alat yang mereka punya hanya diproduksi oleh mereka. Tidak ada perusahaan lain dan toko lain yang menjual itu, sehingga harus beli pada mereka. Karenanya, alat itu harus segera dibeli agar kompor gas bantuan tersebut bisa lebih aman digunakan. Demikian bangunan logika yang mereka sampaikan.

Permainan hipnotis dan tipuan mereka cukup ampuh. Alhasil, banyak ibu-ibu yang beli alat mereka. Parahnya, mereka juga mematok harga yang sangat mahal yakni 100 ribu. Padahal di pasaran, harganya tidak sampai 10 ribu. Sayangnya, seperti yang saya sudah katakan tadi bahwa telah disampaikan kepada ibu-ibu hanya mereka yang jual barang itu.

***

Kita kembali ke kejadian menjelang shalat jumat tadi. Istri sepupu saya ditagih namun ia tidak mau. Ia sudah mengikuti penyampaian saya bahwa tidak usah lagi bayar “utang” tersebut. Pasalnya, mereka menjualnya dengan cara berbohong, seperti yang saya sudah jelaskan di atas. Terjadi kemelut antara ibu dan salesnya. Si sales tetap ngotot menagih, namun si Ibu tidak mau bayar. Akhirnya barang yang dijual diambil oleh si sales dan uang si ibu tidak dikembalikan.

Persis si sales naik motor ingin pergi, saya pun sampai di lokasi. Saya panggil si sales dan ia turun dari motornya. Saya pun menyerangnya dengan berbagai pertanyaan, bukti dan alasan rasional untuk membongkar kebohongannya. Saya paksa agar uang hasil tipuan ke si ibu segera dikembalikan. Ia beralasan, uangnya sudah disetor, tapi saya tetap ngotot: uangnya harus kembali, titik. Akhirnya, saya telepon sepupu yang juga polisi. Setelah saya jelaskan ke sepupu perihal kejadiannya, maka ia meminta saya untuk menyerahkan telpon ke si sales. Usai menelpon, si sales mengeluarkan uangnya dan tanpa aba-aba, saya langsung mengambil uang di tangannya. Singkat cerita, uang saya berhasil ambil. Dan dalam hati si sales penuh dengan kekesalan. Ia datang untuk menagih hutang tapi saat pulang, uangnya sudah berkurang.

Perilaku si sales dan timnya (mereka banyak), sudah meresahkan beberapa hari terakhir. Sayangnya, otoritas pemerintah maupun pihak penegak hukum tidak bertindak. Saya sudah “ribut” di media sosial untuk menyadarkan orang-orang dan para otoritas terkait, namun belum memberikan efek yang signifikan. Bahkan kami pernah mendatangi mereka pada saat melancarkan aksi mereka. 

Kami bersitegang dan Alhamdulillah para ibu di lokasi tersebut berhasil kami halau untuk membeli barang yang para sales jual. Saya kira para sales akan bertobat dan tidak melakukan aksinya lagi, ternyata tidak. Mereka masih beraksi. Dugaanku, mereka punya bekingan orang pribumi karena sudah dibayar.

Karena saya mendengar sudah banyak ibu-ibu yang jadi korban dan mereka masih melancarkan kebohongannya. Saya akhirnya menulis surat terbuka secara anonim. Suratnya saya sebar di media sosial WhatsApp (WA) karena melalui media ini, informasi gampang tersebar dan jangkauannya luas serta cepat. Suratnya saya tujukan kepada para otoritas terkait tadi: camat, lurah, kepala desa dan kapolsek. 

Alhamdulillah hari itu cukup jadi trending topik di kampung saya. Dan Alhamdulillah punya dampak yang signifikan. Para sales akhirnya tidak melancarkan aksinya tadi, meskipun ada satu orang yang datang menagih istri sepupu saya. Dan saya sudah “skak” dia, seperti sudah tercerita di atas. Btw, ulah para sales pembohong seperti ini sudah sering datang ke kampung saya. Semoga kejadian ini, masyarakat sudah semakin sadar dan para sales bohong ini segera bertobat.

Usuku, 19.02.2002

~MU

Komentar