Sore, lapangan hijau dan semut-semut

sedang bermain bola (koleksi pribadi)

Sore. Biasanya adalah waktu yang pas untuk istirahat. Bagi yang kerja seharian, sore adalah waktu untuk pulang. Bagi yang suntuk dalam di rumah, sore adalah pilihan yang tepat untuk berkeliling-keliling. Dengannya, kesuntukan akan berubah menjadi kesegaran pikiran dan semoga mendapat inspirasi baru. Kira-kira alasan ini yang membuat saya dan istri berjalan-jalan sore tadi, meskipun kami tidak berjalan kaki tetapi naik motor. Hehe. Selain alasan di atas, sore punya kesejukan udara apalagi matahari tidak terik lagi. Matahari dalam on the way ke malam. Dia juga ingin istirahat.

Kami memilih pergi ke pasar malam. Sebenarnya, saya hanya berpikir “gorengan”. Artinya, butuh makanan ringan, meskipun oleh beberapa orang, pisang goreng tidak dalam kategori makanan ringan, tetapi makanan berat. Karena perihal makanan, maka pilihan yang tepat untuk mendapatkannya adalah pasar malam. Tempat ini memang menjual aneka kue serta beberapa kebutuhan siap santap lainnya, serta barang-barang lainnya.

“Pokoknya, kita ke pasar dulu. Nanti di sana kita lihat, kita beli apa dan akan kemana setelahnya,” kataku. Istri mengamini. Dia ikut saja. Tak ada kercikan alis apalagi bantahan. Sampailah kami di pasar. Ada perasaan ragu. Ragu untuk membeli apa. Bahkan apakah jadi membeli atau tidak. Kami masuk saja ke dalam pasar. Di sebelah kiri pintu masuk berjejer ragam kue: ada yang dibakar, kukus, goreng dan mungkin ada yang kombinasi dari itu semua, dan mungkin ada juga teknik pembuatan lain. Yang pasti adalah berjenis-jenis.

Saya berhenti. Istri juga demikian. Badan kucondongkan ke kiri mengikuti istri. Kami berhadap-hadapan dengan makanan. “Silahkan pilih,” sambut penjual. Saya diam dengan penuh tanda tanya. “Kue apa?,” istri menimpaliku dengan pertanyaan. Beban pertanyaan bertambah. Saya masih diam, bisu. “Ini saja” sembari mengarahkan telunjukku pada salah satu kue dibungkus dengan daun pisang. “Masih panas ternyata,” ujarku pada istri. Kue kuletakan pada tangannya untuk lebih meyakinkannya. “Iya, betul,” ia mengonfirmasi. 

Dia pun memilih kue yang sesuai dengan selaranya. Tidak terlalu banyak kami memilih karena sore itu telah diputuskan untuk tidak harus mengonsumsi makanan yang lebih banyak. Soalnya, ada makanan malam yang telah disiapkan. Di pasar pagi tadi kami sudah membelinya. Oh iya, hampir lupa. Di pasar malam ini, kami pun membeli beberapa hal untuk melengkapi bahan makanan yang telah kami beli di pasar pagi.

koleksi pribadi

Usai urusan pasar, saya putuskan untuk duduk di atas lapangan hijau. Kebetulan pasarnya malamnya, tepat di pinggir lapangan. Kami ingin menikmati lapangan yang ditumbuhi oleh rerumputan segar. Apalagi saya sangat suka aroma rumput hijau, terlebih lagi jika baru dipotong. Ada sensasi nikmat menusuk sampai ke sel-sel otak. Ah, mungkin saya terlalu berhiperbola. Tak mengapa.

Di sana ada anak-anak sekolah yang bermain bola. Mereka menggunakan gawang dari batu, seperti saya dahulu ketika bermain bola dalam usia seperti mereka. Sangat jauh dari standar lapangan yang seharusnya. Tapi inilah faktanya. Kita tidak perlu menunggu sempurna kemudian kita melaksanakannya.

Kami memilih duduk di dalam lapangan. Lapangannya luas. Pemain bola tadi cuman mengambil bagian kecil dari lapangan. Kami duduk tidak jauh dari mereka, tetapi tidak terlalu dekat juga. Sedang-sedang saja. Pertimbangan kami, jika terlalu dekat beresiko terkena bola. Jika terlalu jauh maka mata kami akan sukar untuk menyaksikan. Sehingga memilih jalan tengah. Sungguh indah suasananya. Duduk bersila beralaskan rumput dan tanah. Menyatu dengan alam. Apalagi di temani kekasih halal. Plus, menikmati kue-kue yang sudah terbeli. Uapan aroma rerumputan hijau pun lagi-lagi memberi sensasi yang sungguh nikmat. Betapa indah sore itu.

Tanpa disadari, semut-semut pun berkerumun. Entah karena ada kue yang menjadi daya penariknya, atau memang mereka sedari tadi ada disitu, hanya saja kami menduduki tempatnya. Namun, setahu kami, saat sebelum duduk tidak ada semut yang berkeliaran di situ. Tidak ada. Tapi entahlah, mungkin mata kami yang terbatas sehingga tidak melihat mereka. 

Jika kemungkinan yang terakhir ini benar, mungkin para semut sudah akan berbicara pada kami agar segerah minggir. Kisah Nabi Sulaiman as pernah mendengar raja semut memerintahkan kawan-kawannya agar segera berlindung karena sang Nabi akan lewat. Jangan sampai terinjak. Nabi Allah pun tersenyum. Semoga cerita ini tidak keliru dan saya sebenarnya yakin benar. Wallahu alam.

Matahari tidak seterang saat terik. Udara mulai meraba-raba dengan lembutnya. Semut pun juga mulai berkerumun. Kami menghindari “perang” dengan para semut. Kami sama-sama tidak bersalah. Untuk apa berperang jika tidak salah? Akhirnya, kami putuskan untuk pulang. Pulang dengan syukur. Alhamdulillah.

Tomia, 2.2.2022

-MU

Komentar