Langkanya minyak goreng di kampungku

Sudah dua minggu ini, minyak goreng di Indonesia langkah. Sebelum masuk ke tahap langkah, sudah sebulan terakhir mulai ada gejolak ke arah kelangkaan tersebut. Efeknya sampai ke pelosok-pelosok seperti di kampung saya. Konsekuensinya, harga minyak goreng akhirnya membumbung tinggi sampai menyentuh 300 persen bahkan lebih.

Dari sini bisa kita lihat bahwa ada manajemen pemerintah yang salah. Harusnya urusan seperti ini tidak boleh terjadi apalagi faktor penyebabnya karena lebih ke masalah internal. Bahkan parahnya lagi, minyak goreng murah malah dijual ke luar negeri. Konon ada yang ke pasar gelap. Biasanya pelaku-pelakunya adalah kartel-kartel minyak goreng yang terlindungi oleh kekuasaan.

Jika pemerintah mau serius memberantas hal-hal seperti ini, harusnya aksi jual beli keluar dengan harga murah tersebut tidak terjadi. Ini malah dibiarkan. Dengan kata lain, negara – dalam hal ini pemerintah – tidak berdaya berhadapan dengan kelompok kartel tersebut. Biasanya mereka bermain di pemilu presiden dan wakilnya. Mereka masuk lewat pintu pembiayaan kampanye. Ada deal politik di situ. Dalam logika pebisnis: harus untung. Saya bantu kamu, kamu bantu saya. Muluskan jalan bisnisku agar saya bisa meraup untung yang besar.

Baik, tidak perlu lagi bahas persekongkolan penguasa dan pengusaha tersebut. Itu hal yang biasa terjadi di alam politik liberal seperti sekarang ini. Namun, tidak berarti kita benarkan. Saya ingin bertutur saja tentang kondisi di kampung saya. Tadi saya dengar, dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng ini, banyak orang kembali melakukan aktivitas yang sudah hampir ditinggalkan. Mereka membuat minyak goreng sendiri. Bahan bakunya adalah kelapa.

Pohon ini lumayan ada di kampung kami. Tapi tidak terlalu banyak juga sih. Mereka memanfaatkan kelapa tersebut untuk membuat minyak. Mereka membuat sama-sama. Di situ ada banyak interaksi. Ada sunda gurau. Ada cerita yang saling terlontar. Ada informasi baru yang terdengar. Bahkan gosip yang tersebar.

Proses-proses seperti ini, menyeret memoriku pada apa yang biasa nenekku, ibuku, paman dan tanteku lakukan dulu: membuat minyak goreng. Nenek dan kakekku punya pohon kelapa yang lumayan banyak, yang letaknya ada di Pulau seberang (Namanya: Pulau Lente a). Dahulu minyak goreng kemasan dari pabrik-pabrik belum ramai di pasaran bahkan masih kurang ditemukan. Maklum saja, kampung saya memang terisolasi oleh laut. Transportasi keluar dan masuk pulau serta pergerakan ekonomi tidak terlalu bergeliat seperti sekarang ini.

Ini mungkin juga hikmah atas kelangkaan minyak goreng ini. Ada tradisi yang mulai bangkit kembali. Semoga kelangkaan ini segera teratasi. Bulan Ramadhan Inysa Allah 20 hari lagi. Kebutuhan akan minyak goreng akan bertambah.

Bau-bau, 13 Maret 2022. Menunggu kabar waktu luang dosen pembimbing tesis. hehe.

~MU
 

Komentar