Langsung ke konten utama

Takka-takka

Tak tak tak… Bunyi permainan itu. Permainan yang kini jadi tren di Indonesia. Meskipun sementara tren, sebenarnya permainan ini sudah lama. Dulu, waktu saya di Sekolah Dasar, saya pernah memainkan ini bersama kawan-kawan. Saat itu permainan ini juga tren. Saya tak tahu kalau di bagian lain di Indonesia karena saat itu teknologi informasi tidak seberkembang sekarang. 

Era sekarang apa yang terjadi di hari ini bisa diketahui oleh orang lain di tempat yang berbeda dalam hitungan detik bahkan secara langsung, seperti halnya permainan takka-takka ini, sehingga wajar jika permainan ini menjadi vial dan saling mempengaruhi anak-anak di banyak tempat di Indonesia.

Hari ini nama yang populer dikenal banyak orang adalah lato-lato. Nama ini berasal dari makassar/bugis. Media menggunakan istilah ini dan terus diproduksi sehingga seolah-olah nama satu-satunya adalah lato-lato. Karena di tempat lain ternyata ada juga namanya, salah satunya di kampung saya yang namanya: takka-takka. 

Jika berbicara sejarah dan menurut salah satu media online mainstream di Indonesia (lupa nama medianya tapi pernah baca di social media), takka-takka berasal dari Amerika di tahun 1990.

Permainan ini memang membisingkan. Tadinya, di suatu waktu, saya ingin istirahat (tidur) tapi tidak jadi. Sebabnya, ada beberapa bocah datang bermain takka-takka di dekat saya, sekitar 1 meter. Parah kan? Apalagi mereka ternyata sedang lomba. Mereka bersaing siapa yang paling tangkas memainkannya. Siapa yang paling lama memainkannya. Berhenti berarti kalah.

Tidak hanya saya, banyak orang yang sesungguhnya risih karena permainan ini. mereka ingin istirahat atau ingin menikmati suasana yang tenang tapi akhirnya diurungkan. Lagi-lagi, karena suara takka-takka masuk menjejali telinga hingga menggoncangkan jiwa.

Banyak orang yang sering menegur ketika bocah-bocah memainkan itu, termasuk saya. Tapi mereka sering tidak mau. Kadang mau tapi sepertinya tidak ikhlas. Karena beberapa jam, menit bahkan detik setelahnya, mereka main lagi. Kadang saya ingin marah tapi saya tidak jadi.

“Saya mau marah, tapi saya ingat saya dulu. Saya juga seperti itu. Jadi saya biarkan saja. Saya nikmati saja,” kataku pada beberapa orang dilanjutkan dengan tertawa terkekeh-kekeh. Hahahaha.

Dunia anak-anak memang mengasikkan. Sepertinya ini dunia yang tak berbeban sebanyak orang dewasa. Pikiran mereka didominasi: ingin bermain saja. Sedangkan pada orang dewasa, pemikirannya sudah mulai kompleks kadang dengan segala tantangan, mungkin beban hidup.

Tapi hal yang saya syukuri dari kehadiran permainan ini adalah anak-anak teralihkan dari smartphone. Mereka lebih mudah bersosialisasi dengan kawan-kawannya karena melalui permainan ini mereka saling bercerita, berinteraksi, tertawa, bercanda dan bertanding secara langsung. Dari segi kesehatan juga, mereka lebih banyak bergerak sehingga akan lebih sehat dibanding bermain telepon genggam.

Saya kira ini pelajaran penting bagi kita semua. Permainan fisik dan tradisional harus terus didorong yang salah satu caranya adalah dengan memviralkannya. Kita dukung dengan mengampanyekannya. Ini bentuk apresiasi. 

Hal penting lainnya adalah dengan mengadakan lomba atas permainan tersebut. Dengan ini, anak-anak akan antusias. Bila perlu, kita buatkan festival tahunan misalnya festival permainan tradisional. Selain manfaat-manfaat yang saya sebutkan di atas, juga sebagai cara kita melestarikan budaya.

~Tomia, tulisan pertama di blog ini di 2023, pada 4 Januari. 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idealisme vs Pragmatisme

Term idealisme jika di telusuri, sesungguhnya dipopulerkan oleh seorang filsuf Jerman Friedrich Hegel dalam filsafat dialektika idealisme. Dialektika hegel diartikan sebagai proses kontradiksi atau penegasian dua komponen yang berbeda. Dia menyebutnya sebagai thesis dan anti thesis yang menghasilkan sintesis, kemudian dalam diri sinthesis juga terdapat dua komponen tadi yaitu thesis dan anti thesis. Kedua komponen ini juga akan menghasilakan sinthesis baru, demikian seterusnya. Sedangkan idealisme, berasal dari kata idea yang artinya pemikiran atau ide. Jadi sesungguhnya, Hegel ingin mengatakan bahwa kontradisksi sebenarnya hanyalah terjadi pada pemikiran atau ide. Atau ada juga yang menyebutnya dengan dialektika ide. Dalam perkembangannya, idelisme kemudian bergeser makna yang berbeda dengan yang didefinisikan Hegel. Namun perubahan definisi biasanya tidak terlalu jauh dari makna aslinya. Idelisme mengalami perubahan makna sesuai dengan beberapa faktor salah satunya adalah konteks

Cerita dengan dua nenek penjual

Dua hari yang lalu, saya ke pasar mengantar ibu. Sekalian saya membeli beberapa barang yang selama ini telah saya rencanakan. Sering juga barang yang tidak saya rencanakan. Hal ini adalah sesuatu yang wajar karena saya sering tertarik membeli suatu barang ketika barang itu terlihat. Pasar Laelangi. Demikian pasar ini dikenal. Setelah mutar-mutar mencari barang yang dicari ibu, kami akhirnya sampai di area penjual sepatu. Cukup banyak sepatu yang dijejer di situ. Penjualnya pun juga demikian, meski pasti lebih banyak sepatu yang berjejer tersebut.  Saya memang ingin membeli sepatu. Lebih tepatnya sepatu yang mungkin bisa dikatakan semi sepatu. Pasalnya, saya bisa gunakan layaknya sandal. Tapi sepatu tersebut bisa juga difungsikan sebagai sepatu layaknya sepatu pada umumnya, bahkan bisa dipakai dalam ruang-ruang formal. “Ini berapa harganya?” tanyaku ke seorang nenek, meskipun belum renta. Sebenarnya agak ragu juga sih menyebut mereka nenek. Beliau cukup enerjik dari tampakan dan caranya

Pers masa depan

Pada tanggal 9 Februari beberapa hari yang lalu, pers memperingati hari ulang tahun yang kesekian kalinya. Dalam perayaan itu selain evaluasi kinerja juga agenda pers kedepan juga menjadi bahan pembicaraan. Mengevaluasi keberadaan pers hari ini tidak bisa terlepas kekuatan kuasa modal. Pers tidak bisa dikatakan objektif dalam pemberitaan. Hal ini telah menjadi rahasia umum dikalangan para penggiat pers sendiri. Proses hadirnya informasi sampai kepenerima tidaklah apa adanya melainkan ada apanya yang tak lepas dari kepentingan atau nilai tertentu. Kondisi ini memberikan sebuah stigma bahwa pers adalah sebuah media yang sangat erat kaitannya dengan tujuan komersial. Memang itu hal yang wajar, karna dunia globalisasi telah memutlakan uang sebagai alat untuk interaksi. Uang adalah sebagai sebuah kekuatan yang selalu mengarahkan semua hal termasuk pers. Singkatnya pers juga butuh dana sebagai energi penggerak eksistensinya. Jika hal ini terus dan menjadi agenda prioritas dari pers maka pers