Menanam dan memanen jagung

Menanam jagung adalah hal yang mulai jarang dilihat dan dilakukan di kampung saya. Termasuk saya sendiri sudah jarang melakukannya. Terakhir saya melakukan itu adalah tahun lalu. Itupun karena membantu mertua saya. 

Saya dengan istri ke kebun untuk bersama-sama menanam jagung. Jadi kami bertiga. Kalau mertua saya, sering melakukannya. Tapi sekali lagi, di kampung halaman saya, kegiatan ini sudah mulai berkurang. Alasan dari semua ini adalah pola pencarian ekonomi secara perlahan sudah bergeser. Adapun di kampung halaman saya, menanam jagung bisa dikatakan hanya pekerjaan sambilan. Hanya untuk makan sehari-hari saja, bukan untuk dijual. Jagung dijual jika memang ada yang lebih.

Kalaupun ada, hal itu dapat ditemukan di desa atau kelurahan lain yang memang masyarakatnya menjadikan pertanian (berkebun) sebagai salah satu sumber ekonominya secara serius. Meskipun secara kalkulasi ekonomi dalam subjektivitas saya, hasil dari komoditas pertanian ini (jagung) sulit untuk menopang ekonomi secara umum. Apalagi ada tanggungan keluarga yang harus dipenuhi seperti anak-anak yang harus sekolah terutama di universitas yang butuh dana tidak sedikit.

Jagung akan ditanam saat musim hujan tiba. Biasanya akan ditanam dengan tanaman lain yang bisa dimakan seperti biji-bijian, mentimun dan labu. Biasanya juga tiga tanaman yang disebutkan tersebut ditanam berdekatan dengan jagung bahkan dimasukan pada lubang yang sama saat bijinya ditanam. 

Jika musim panen tiba, tanaman-tanaman itu akan berbuah secara bersamaan, umumnya seperti itu. Walakin, ukuran dan kematangan buahnya tidak selalu bisa diambil secara bersamaan. Kadang beberapa buah jagung yang duluan diambil. Kadang juga mentimun duluan yang diambil karena biasanya pertumbuhan dan kematangan buah ini lebih cepat. Biji-bijian seperti kacang merah biasanya agak lama baru bisa dipetik. Demikian juga dengan buah labu, cukup lama proses menjadi matang sehingga lambat pula diambil.

Pagi itu dan tiga pagi di hari lain, musim panen tiba. Kurang lebih seminggu dan dua minggu yang lalu. Saya pergi ke kebun untuk memanen. Kenapa beberapa pagi? Karena saya tidak bisa menyelesaikannya dalam satu pagi saja. Ada beberapa alasan, seperti buah yang belum matang atau belum layak diambil seluruhnya, hujan yang mengguyur sehingga tidak memungkinkan untuk pergi ke kebun untuk memanen dan sakit (demam) yang menghampiri. 

Selain itu, kadang di kebun saat saya sedang memanen jagung dan buah lain, hujan tiba-tiba turun. Saya akhirnya harus jedah dan berlindung di bawah “fale”, gubuk kecil yang dibuat oleh para pekebun sebagai tempat berlindung, istirahat, makan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Saya istirahat di tempat ini sembari menikmati jagung bakar yang dibakar sebelum saya memulai memanen dalam jumlah banyak.

Hujan tidak terlalu lama. Sepertinya Allah hanya menurunkan rizki hujan di pagi hari untuk tanaman-tanaman yang ada. Setelahnya, matahari kembali menyingsing indah. Saya kemudian melanjutkan aktivitas panen.

Di antara tanaman-tanaman yang telah saya sebutkan di atas, ada tanaman lain yakni ubi kayu. Ubi di tanaman berdekatan dengan tanaman lain yang saya akan panen. Karenanya, saya harus hati-hati, jangan sampai batang ubi yang masih baru tumbuh rata atau patah karena injakan saya. Tantangan lain juga adalah serangan kalajengking. Dua kali saya disengat oleh ekornya yang berbisa. Saya disengat saat tangan saya mengambil jagung yang sudah berwarna kuning karena sudah matang. Saya baru tahu kalau yang membuat tangan saya sakit adalah kalajengking ketika mata saya diarahkan ke jagung dengan teliti.

Untuk mengurangi rasa sakit, saya hisap bagian tangan yang tersengat untuk mengeluarkan racunnya. Sedikit terbantukan meski sakitnya masih tidak bisa disembuhkan dengan cepat. Namun, Alhamdulilah sakitnya masih bisa kendalikan.

Setelah karung yang saya bawa penuh, saya memutuskan untuk pulang. Karung saya pikul menuju motor yang saya bawa. Jaraknya kurang lebih 200 sampai 300 meter. Dahulu, sebelum kampung halaman saya belum se globalisasi seperti sekarang ini, untuk pergi dan pulang ke dan dari kebun selalu dilakukan dengan jalan kaki. Tentunya barang-barang yang dibawa pun harus dipegang sendiri. Cukup dululah. Masih banyak yang saya ingin ceritakan tentang nostalgia zaman menanam dan memanen  jagung bersama nenek, kakek, ibu, paman, bibi, saudara dan sepupu-sepupu. Semoga Allah memudahkan saya untuk menulisnya nanti.

~Tomia, 9 Februari 2023
 
 
 
 
 

Komentar