Pergeseran perilaku anak sekolah di kampung halaman saya

sumber:  Medcom.id/Rakhmat Riyandi


Saya yang sedang berdiri di teras salah satu bangunan di Puskesmas dihampiri oleh seorang siswa SMP yang menanyakan korek api. Saya sedikit kaget. Dia bermaksud meminjam. Cara meminjamnya pun to the point, langsung pada intinya. Tidak ada basa basi. 

Harusnya, sebagai orang yang belum saya kenal dan dia juga belum mengenal saya, dia perlu bersikap sopan atau sesuai tata krama apalagi saya orang yang lebih tua darinya. Dia gunakan kata permisi misalnya, atau kata pembuka lain yang bisa mengawali keakraban sehingga terkesan menghargai orang baru dan orang yang lebih tua.

Parahnya lagi, dia ternyata akan menggunakan korek api tersebut untuk membakar rokoknya. Karenanya, meskipun korek api itu ada, saya tidak akan memberikannya.

“Untuk rokok?”.

“Iya,” katanya.

“Janglanlah kamu merokok. Kamu masih sekolah,” kataku. Dia mengabaikan saya sembari berjalan ke arah toko yang menjual korek api yang tidak jauh dari tempat itu.

Saya lihat ada pergeseran atau perubahan perilaku anak sekolah. Dulu, waktu saya masih menjadi siswa SMP, merokok adalah hal yang sangat tabu bagi siswa. Kalaupun ada yang melakukannya, itu hanya satu dua orang. Itupun dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan sama teman dan lebih-lebih guru. 

Namun, hari ini hal itu tidak terjadi lagi. Merokok di kalangan anak sekolah setingkat SMP telah dilakukan terang-terangan dan tanpa ada rasa malu. Malah dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan.

Fenomena ini merupakan pergeseran yang buruk. Sebenarnya, bukan hanya merokok. Perbuatan buruk lain di kalangan anak sekolah juga sudah semakin tampak, misalnya konsumsi minuman keras dan pergaulan (dan sex) bebas. Mengerikan. Sangat mungkin kejahatan yang lebih besar akan terjadi seperti penyebaran dan konsumsi narkoba. Yang terakhir ini kita tidak tahu, mungkin saja sudah terjadi. Entahlah.

Sementara itu, institusi sekolah sejauh ini tidak melakukan langkah yang proporsional dan efektif. Banyak masalah tentunya, mulai dari kepedulian guru yang minim akan perilaku menyimpang tersebut, juga ada faktor dinamika politik lokal yang membuat kepemimpinan di sekolah bermasalah. 

Banyak guru juga yang lebih fokus serta terlibat dalam urusan politik misalnya usaha untuk menjadi kepala sekolah dan bagaimana mempertahankan jabatan tersebut. Sementara itu, urusan pendidikan yang seharusnya menjadi tugas utama mereka, cenderung diabaikan begitu saja. Dari sinilah sekolah menjadi amburadul.

Institusi masyarakat seperti pemerintah dan adat bisa dikatakan tidak melakukan apa-apa. Lagi-lagi ini persoalan kepemimpinan dan kepedulian sosial. Selain itu, sama juga seperti masalah yang menimpo pendidikan (sekolah), salah satu faktor penyebabnya adalah dinamika politik lokal. 

Perburuan kekuasaan elit pemerintah dan masyarakat telah mengacuhkan mereka untuk mengurus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Yang mereka lakukan adalah hanya melakukan rutinitas seremonial tahunan yang siapapun bisa melakukannya. 

Dan tentunya, pemerintah terutama pimpinan pemerintah di wilayah administrasi yang lebih kecil seperti kecamatan dan kelurahan/desa cenderung hanya fokus mempertahankan kekuasaan. Bahkan berprioritas untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan dahulu dalam prosesi dukung mendukung saat pemilihan bupati (pilkada). 

Dari semua itu, perlu keterlibatan dan keseriusan semua pihak untuk mengatasi masalah-masalah ini.

Tomia, 15 Februari 2023 
 
 

Komentar