Langsung ke konten utama

Masjid Dekat Rumah di Ramadhan 1444 H

Akhirnya ada masjid dekat rumah. Masjid ini sebenarnya masjid sekolah: SMA 2 Baubau. Masjid ini baru dibangun, kurang lebih setahun yang lalu. 

Saya masih ingat, tahun lalu di bulan ramadhan, panitia memampang spanduk di lokasi pembangunan. Spanduknya mengajak masyarakat umum untuk bersedekah untuk pembangunan masjid tersebut. Ditulis juga bahwa masjid akan dibuka untuk umum meskipun berada di dalam lingkungan sekolah.

Saya cukup apresiasi dengan kebijakan sekolah terkait status masjid ini. Soalnya masjidnya ada di dalam wilayah sebuah sekolah dan tentunya bisa dikatakan adalah aset sekolah tersebut. Akan tetapi dipergunakan untuk kepentingan publik. Sehingga orang-orang yang tinggal di sekitar sekolah tersebut akan bisa mengaksesnya. 

Demikian juga bagi para pengendara di jalan raya misalnya, mereka dapat singgah shalat ketika waktu shalat telah tiba. Apalagi lokasi masjid berada di pinggir jalan yang hanya dibatasi oleh pagar sekolah.

Sebelum ramadhan tahun ini atau 1444 H, kami yang tinggal di area itu harus mencari masjid yang jaraknya lebih jauh dari masjid sekarang. Walakin, masjidnya tidak terlalu jauh juga. Masih bisa dijangkau dengan jalan kaki sekitar 7-10 menit.

Sebenarnya, saya juga tidak terlalu “protes” dengan waktu tempuh tersebut. Pasalnya, dengan jalan kaki sejauh itu, maka saya bisa olahraga sekaligus. Kata pepatah: sambil menyelam minum air. Sambil pergi sholat juga olahraga (jalan kaki). Olahraga ini menjadi poin penting, terutama bagi saya yang sering enggan berolahraga.

Di sisi lain, waktu tempuh di atas juga mungkin kurang ideal bagi yang ingin shalat di masjid tiap saat. Maksudnya bukan tidak ideal bagaimana. Akan tetapi di kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan waktu yang cepat untuk menjangkau masjid, maka kemungkinan akan terlambat. 

Contohnya adalah saat buka puasa. Di momen ini, jarak antara buka puasa dengan adzan biasanya berdekatan. Bagi orang-orang yang berbuka puasa di rumah, maka kemungkinan akan terlambat jika waktu tempuh berjalan kaki sekitar 7-10 menit. 

Belum lagi di waktu shalat zuhur dikala matahari terik misalnya, maka akan menjadi tantangan sendiri bagi pejalan kaki ke masjid yang waktu tempuhnya cukup lama. Oleh karena itu, keberadaan masjid yang dekat ini menjadi penting. Mungkin ini pengecualian bagi yang menggunakan kendaraan sepeda motor.

Sebenarnya, alasan-alasan di atas mungkin tidak jadi masalah bagi orang-orang yang tingkat keimanannya sudah di level tinggi sehingga tepat waktu ke masjid akan selalu jadi prioritasnya. Semoga kita semua masuk di level orang-orang seperti ini. Aamiin.

~Bau-bau, ditulis usai shalat subuh di masjid tersebut dan usai ngaji, pada 6 Ramadhan 1444 atau 28 Maret 2023. Menulis di moment seperti ini merupakan strategi agar tidak tidur usai shalat subuh.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Idealisme vs Pragmatisme

Term idealisme jika di telusuri, sesungguhnya dipopulerkan oleh seorang filsuf Jerman Friedrich Hegel dalam filsafat dialektika idealisme. Dialektika hegel diartikan sebagai proses kontradiksi atau penegasian dua komponen yang berbeda. Dia menyebutnya sebagai thesis dan anti thesis yang menghasilkan sintesis, kemudian dalam diri sinthesis juga terdapat dua komponen tadi yaitu thesis dan anti thesis. Kedua komponen ini juga akan menghasilakan sinthesis baru, demikian seterusnya. Sedangkan idealisme, berasal dari kata idea yang artinya pemikiran atau ide. Jadi sesungguhnya, Hegel ingin mengatakan bahwa kontradisksi sebenarnya hanyalah terjadi pada pemikiran atau ide. Atau ada juga yang menyebutnya dengan dialektika ide. Dalam perkembangannya, idelisme kemudian bergeser makna yang berbeda dengan yang didefinisikan Hegel. Namun perubahan definisi biasanya tidak terlalu jauh dari makna aslinya. Idelisme mengalami perubahan makna sesuai dengan beberapa faktor salah satunya adalah konteks

Cerita dengan dua nenek penjual

Dua hari yang lalu, saya ke pasar mengantar ibu. Sekalian saya membeli beberapa barang yang selama ini telah saya rencanakan. Sering juga barang yang tidak saya rencanakan. Hal ini adalah sesuatu yang wajar karena saya sering tertarik membeli suatu barang ketika barang itu terlihat. Pasar Laelangi. Demikian pasar ini dikenal. Setelah mutar-mutar mencari barang yang dicari ibu, kami akhirnya sampai di area penjual sepatu. Cukup banyak sepatu yang dijejer di situ. Penjualnya pun juga demikian, meski pasti lebih banyak sepatu yang berjejer tersebut.  Saya memang ingin membeli sepatu. Lebih tepatnya sepatu yang mungkin bisa dikatakan semi sepatu. Pasalnya, saya bisa gunakan layaknya sandal. Tapi sepatu tersebut bisa juga difungsikan sebagai sepatu layaknya sepatu pada umumnya, bahkan bisa dipakai dalam ruang-ruang formal. “Ini berapa harganya?” tanyaku ke seorang nenek, meskipun belum renta. Sebenarnya agak ragu juga sih menyebut mereka nenek. Beliau cukup enerjik dari tampakan dan caranya

Pengkaderan mahasiswa dan kekerasan.

Seperti biasa, momentum-momentum seperti itu telah menjadi rutinitas. Bagi kalangan mahasiswa terlebih pengurus-pengurus lembaga kemahasiswaan internal kampus ini sebuah keharusan untuk melanjutkan kontiunitas organisasi. Pasti alasannya ingin merubah mindset (pemikiran) atau paradigma berpikir mahasiswa baru sekaligus sebagai penggerak roda organisasi kedepan.   Adalah pengkaderan atau penerimaan anggota baru yang menjadi kegiatan itu. Dari tahun ke tahun tepatnya di awal tahun ajaran baru, hal ini merupakan pendangan yang lumrah terjadi. Sore itu, saya berjalan melewati sebuah koridor gedung yang yang mampu menampung hingga 6000 manusia. Terlihat beberapa mahasiswa yang menikmati duduk sambil menikmati cemilan, berdiskusi, bagi para senior (pengurus lembaga) kemahasiswaan mereka sedang ‘mengkader’ para mahasiswa baru  hingga ada juga yang hanya sekedar duduk santai melepas kepenatan rutinitas perkuliahan yang sumpek. Namun yang membuat saya sempat berhenti sejenak, ketika saya