Perayaan Tahun Baru dan Hedonisme

Begitu meriahnya perayaan tahun baru Masehi. Dimana-mana, diseluruh nusantara membincangkan hal ini terlebih merayakannya. Di media massa pun ramai membicarakannya. Permaslahan di negeri ini seolah-olah mengalami rehat sejenak akibat perayaan tahun baru ini.

Seremonial ini bagaikan kewajiban semua masyarakat Indonesia. Sedangkan nenek moyang kita dahulu jarang bahkan tak pernah merayakan hal ini. Artinya budaya ini bukanlah karakter yang kita miliki. Kita hanya mengadopsi apa yang dilakukan oleh barat sehingga menjadi kebudayaan yang akan menjadi karakter masyarakat yang akan mengarahkan pada sifat hodonisme.

Perayaan ini hanya merepresentasikan tentang budaya hura-hura (hedonisme) yang tidak pernah ada dalam budaya timur. Jika kita menelisik lebih dalam sesungguhnya kebanyakan perayaan tahun baru hanyalah seremonial formal yang tak bersubstansi. Kita hanya asik dengan kegiatan tanpa merenungi makna perputaran waktu.

Pernakah kita renungkan, berapa biaya yang dihabiskan untuk merayakan tahun baru ini? Sementara masih banyak saudara-saudara kita yang masih memerlukan dana untuk biaya hidup sehari-hari. Kita mengahabiskan dana untuk membeli alat, pernak-pernik dan sejenisnya hanya untuk dihabiskan dalam waktu bebetapa jam saja. Coba bayangkan uang yang hilang untuk membiayai seremonial pergantian tahun. Seandainya dananya kita gunakan untuk menolong ekonomi saudara-saudara kita maka setidaknya akan mengurangi beban hidupnya.

Tidak kita sadar setiap tahun bertambah dan umur kitapun bertambah namun usia kita semakin menuyusut. Sejatinya, tahun baru harus dijadikan sebagai momentum renungan dan perubahan. Tahun baru harus menjadi awal aktifitas positif yang baru. Bukan dengan diawali dengan aktifitas negatif atau perayaan tahun baru dengan hura-hura.

Makassar, 1 Januari 2011

ket: tulisan ini telah diikutkan pd lomba yg diadakan oleh kompasiana.com

Komentar