Rekreasi di Pantai Losari yang Memiriskan

(gambar: google.com)
Telpon gengamku berdering. Seorang teman mengajakku kesuatu tempat. Teman yang bisa dikatakan tiap hari denganku sehingga mengetahui apa yang harus kami lakukan. Melihat rutinitas yang monoton, mengajak saya untuk pergi merefresing pikiran sekaligus mencari inspirasi. Bersama dengan beberapa orang teman lainnya, kami mengunjungi sebuah tempat rekreasi di Makassar yaitu Pantai Losari.

Disana saya meghampiri sebuah kendaraan laut yang merupakan salah-satu fasilitas yang disediakan di pantai itu. Namun kami tidak menggunakannya, cukup melihat-lihat saja sudah puas. Dengan gemerlap cahaya lampu membuat malam itu semakin seru. Lampu sorot ‘trans studio’ yang berada didepan pantai losari semakin memperindah pemandangan malam itu. Trans tudio yang katanya salah-satu tempat bermain yang besar di Asia Tenggara. Di dalamnya memiliki banyak hal yang baru, sebagai daya tarik tersendiri yang berbeda dengan pantai losari dan tempat-tempat rekreasi lainya di Makassar. Namun kelebihan yang dimilikinya tak dapat kami kunjungi malam itu.

“Disana mahal, uang masuknya saja Rp 100.000,-“ kata seorang teman.

Aku langsung menjawabnya “Disini saja, disinikan meskipun berbeda dengan trans studio tapi tak kalah menyenangkan” .

Akhirnya semua mengiyakan maksud untuk menikmati saja keindahan pantai losari. Dengan kamera yang dibawa oleh sala satu teman kami segera mendokumentasikan rekreasi malam itu. Bukan hanya kami yang mengunjungi tempat itu. Banyak orang yang mungkin sama dengan kami untuk melepas kerutinan. Mungkin juga hanya sekedar jalan-jalan biasa.

Tapi saya yakin mereka sudah bosan dengan keadaannya. Yah, merekalah yang dalam kesehariannya mencari nafkah di situ. Mereka adalah pedagang asongan, tukang becak, yang ngamen atau seperti yang dikatakan oleh seorang teman, mereka adalah korban dari rezim yang tengah berkuasa. Mereka adalah pemandangan yang biasa di tempat ini. Dan mungkin juga di tempat-tempat keramaian lain di Makassar dan saya yakin di kota besar lainnya juga.

Anak kecil yang seperti yang diilustrasikan oleh penyanyi ‘Iwan Fals’ dalam sebuah lirik lagunya yang berjudul “si budi kecil”. Si Budi kecil adalah seorang anak yang dalam kesehariannya mencari nafkah membantu keluarganya. Umurnya masih seumuran anak taman kanak-kanan atau sekolah dasar. Harusnya malam itu mereka istrahat dirumah sambil belajar dan mungkin juga bermain. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan sehingga si budi kecil pun harus merasakan penderitaan yang tidak sepatutnya dirasakan oleh anak seumurnya. Penderitaan yang dialaminya sungguh keras. Bagaimana tidak, Ibu Kota adalah pertarungan melawan kematian yang sangat keras. Dimana-mana orang saling merebut makanan dan uang yang semakin langkah karna diakumulasi oleh segelintir orang saja.

Bukan hanya si budi kecil, Ibu-ibu yang telah lanjut usia maupun yang belum turut meraimakan pemandangan di pantai losari malam itu. Selain itu bapak tukang parkir yang tidak bosan-bosannya menjaga kendaraan pengunjung dan semua teman-temannya yang menjadi korban dari rezim berkuasa. Jika dilihat sepintas hidup ini rasanya tidak adil. Pemandangan yang sangat kontras telah membuatku semaki miris merasakanya. Pembangunan kota yang begitu megah dari segi infra struktur. Tempat rekreasi yang cukup banyak dan jika di hitung dana untuk untuk membangunnya maka sungguh tidak sedikit. Sementara di samping pemandangan bangunan yang tersusun rapi itu terdapat mereka yang berpakaian compang-camping , kusut dan kotor sendang mencari sesuap nasi. Mereka yang melalui mereka dengan mobil berplat hitam pun jarang menghiraukan mereka.

“Beli jualanku kak” kata si budi kecil. Ingin membeli, namun uang yang ku bawa tak cukup. Namun disela-sela pertemuan dengannya aku melemparkan pertanyaan padanya.

“Dek’ kelas brapa sekarang dan dimana sekolah?” tanyaku.

“Tidak sekolah kak’”

“Kenapa”?

“Pace sama maceku tidak punya uang kak” (pace, mace = ayah, ibu dalam bahasa Makassar)

Demikian potongan ceritaku dengan si budi kecil. Dan jika realitas ini tetap dibiarkan. Mereka dan si budi kecil tetap susah atau tidak bisa mengakses pendidikan. Maka mereka tidak mampu mengatasi tuntunan zaman yang memutlakan pengetahuan yang memadai. Sehingga mereka hanya akan memproduksi kembali kehidupan yang sama yaitu kemiskinan karna kemisikinan selalu sejalan dengan kadar pengetahuan yang dimilikinya.

Demikianlah sedikit potret kehidupan masyarakat perkotaan.

Makassar, 7 Januari 2011

Komentar