Saya kurang sepakat dengan islam anda

“Gimana diskusinya?” Tanya seorang teman. Dia adalah teman sekaligus senior di kampus. Pertanyaan itu dimaksudkan pada saya untuk dijawab. Kebetulan saya terlihat baru keluar dari ruangan tempat diskusi itu berlangsung. Diskusi seputaran isu-isu yang tengah dihadapi oleh negeri kita,Indonesia. Tak luput juga ahmadiyah yang dibahas sampai adanya pendapat perlunya negara yang berideologikan islam.

“Lumayan seru dan panas”, kataku. Sebenarnya
dalam diskusi itu lebih menjelaskan tentang pertarungan ideologi dan bagaimana seharusnya sistem atau ideologi yang digunakan Indonesia. Beberapa alternatif disampaikan dalam forum. Juga tak lepas dari interupsi dengan menanggapi untuk sepaham, melengkapi juga ada yang tidak sepaham. Bahkan sampai ada bahasa-bahasa yang kurang berkenan untuk diucapakan. Namun beginilah kami, mahasiswa. Adu argumen adalah hal yang biasa dan harus meskipun perdebatan itu sangat ekstrim. Dan kami selalu memakluminya.

Ada sebuah argumen yang menjadi perdebatan yang cukup menarik dalam diskusi itu meskipun ada juga hal menarik lainnya. Yaitu perlunya revolusi islam dan Indonesia dijadikan negara Islam. Saya katakan “sebenarnya sepakat pada ideologi apa saja asalkan itu menegakkan kemanusiaan. Tapi jika anda menerapkan islam sebagai sebagai idoelogi negara maka islam yang bagaiman dulu?”. Pernyataan saya demikian tak lepas dari kondisi objektif yang ada di dunia. Banyak organisasi atau kelompok islam yang gerakannya dari yang libeal sampai ekstrimis begitupun juga dengan model pemerintahan islam yang diinginkan.

Islam tetap satu dan tidak akan berubah. Namun penafsiran tak jarang berbeda dan perbedaan itu islam telah mengakuinya. Intinya forum itu sepakat dengan adanya ideologi islam jika itu tidak merugikan pihak manapun. Karna hakekat islam selalu mengajak pada keadilan.

Di luar ruangan tadi, “kapan gabung dalam kelompok kami?” teman melanjutkan kembali pertanyaannya.

Sambil tersenyum dan saling berjabatangan (itulah kebiasan kami jika saling bertemu). Saya menjawab “Nantilah, yang pentingkan kita sama-sama memperjuangkan islam, agama rahmat sekalian alam”. Dan diselingi dengan sedikit tawa sebagai ungkapan persahabatan dan satu misi.

“Ah, perjuangan islam yang bagaimana?” katanya.
“Yang pastinya Islam yang membawa kedamaian” jawabku.

Ekpresi seorang teman tadi seolah dia mengklaim gerakannyalah yang harus diikuti karna mereka paling benar. Saya maklum atas sikap temanku itu. Sebenarnya percakapan dengannya masi ingin dilanjutkan tapi karna waktu shalat magrib telah tiba maka segera kami sudahi percakapan itu.

Dalam perjalan berpisah dengannya dalam hatiku berkata, “saya bukanlah islam demikian yang langsung menyalahkan saudara muslim lain yang berbeda dengan yang saya pahami”. Dan “jika seperti ini perjuangan anda saya kurang sepakat dengan islam yang anda pahami”

Makassar, 19 Februari 2011


Komentar

Posting Komentar