Menerka-nerka kehidupan

Sore ini, matahari yang semakin menjauh dari ingar-bingarnya siang hari. Seperti matahari, mereka pun berjalan kembali dalam rutinitas. Suara kendaraan bermotor terus-menerus membuat suasana menjadi bising. Inilah tanda bahwa dunia sedang dilanda modernitas. Tapi itulah keadaan yang sulit terhindar. Dunia yang sudah dipenuhi dengan sesakan tekhnologi modern yang tak jarang membuat kehidupan menjadi tak nyaman.

Kehidupan yang terus bergulir mengharuskan pikiran juga terus bergulir. Kadang orang tidak
percaya dengan dialektika hegel dan juga marks. Tapi biarlah mereka melakukannya karna itulah dialektika. Aku juga kadang mempercayainya dan juga tidak. Tapi inilah dialektika yang harus aku yakini.

Kadang semua ragu tentang semua hal. Seperti halnya Rene Deskartes yang meragukan semua hal. Namun keraguan itu tidak selamanya menghingapinya. Hingga ia berkata pada dirinya bahwasanya “saya ragu akan segala hal tapi aku tidak ragu kalau aku sedang ragu”.

Tapi tidak bagi para sophie yang meragukan semua keberadaan. Aku yakin ungkapannya adalah sebuah keyakinan. Namun haruskah mereka tidak menyakini ungkapannya sebagai keberadaan? Pertanyaan ini harus mereka jawab dengan objektif. Yah, meskipun kata seorang teoritikus, tak ada yang objektif di dunia ini yang ada hanyalah subjektivitas.

Meskipun para sophie bersikukuh dengan keyakinannya tapi haruslah mereka sadar tentang keyakinan dan keberadaannya sebagai sebuah kebenaran. Dan aku yakin seperti halnya Al-Ghazali yang pernah ragu, demikian pula rene deskartes, kalau mereka tahu akan hal itu yang selama ini mereka nafikan. Hingga kalimat yang terlantun itu: “Tidak ada yang ada yang ada hanyalah ketiadaan” akan ditinjau kembali. Ibarat Murtadha Muthahari (seorang ulama revolusioner Iran) dalam sebuah analogi dia berkata: “Mereka berada di atas sebuah ranting pohon yang kemudian mereka sendiri menggergajinya dan jatulah mereka”. Dengan ini haruskah mereka tetap ragu???

Aku sadar kalau sekarang aku terlalu berwacana tentang keraguan terhadap sebuah epistemology. Meskipun aku berbicara tentang keraguan tapi kadang juga terjebak dalam keraguan itu. Ah, lupakanlah semua keraguan itu. Aku yakin silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.

Aku terus berkhayal hingga matahari kian meredup dan ingin hilang dalam pandanganku. Kadang aku bertanya, kenapa dia harus meninggalkan siang dan mengejar malam. Begitu pun sebaliknya. Siapakah yang menyuruhnya? Dan apa motivasinya? Mungkinkah dia hanya menjalankan misi khusus di siang hari? Trus, kenapa dia tidak menampakan dirinya pada malam hari?

Mungkin juga dia takut akan keberadaan bintang malam dan bulan. Takut keduanya mencapnya sebagai makhluk sombong karna silaunya meyinari bumi. Atau mungkin juga mereka ingin merasakan bagaimana rasanya memberikan penerangan pada kehidupan di bumi.

Aku bosan dalam dialektika ini. Biarlah mereka melakukan itu, siang tampak dan selalu berganti dengan malam. Dan lagi-lagi aku harus kembali berkata pada diri sendiri dan kepada semua bahwa:

“Sesungguhnya silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”

Komentar