Masjid dan empat bocah pengemis

Ketika shalat zuhur tadi, saya menunaikannya di masjid dekat kos. Saya melihat pemandangan yang menggugah kemanusiaan kita. Ada empat orang bocah tertidur di teras masjid. Entah, karena lapar atau lelah tapi yang pastinya mereka sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak? Pakaian dan badan mereka kumuh dan kotor. Di antara tubuh mereka yang lemas dan tertidur pulas terlihat gelas minuman yang digunakan untuk tempat sedekah dari orang para penderma. Bahkan salah seorang dari mereka terdapat luka-luka yang menempel pada tubuhnya. Dia adalah anak paling muda yang usianya seumuran anak taman kanak-kanak.

Sebenarnya pemandangan seperti ini tak jarang ditemukan di kota tempat saya kuliah (baca: Makassar) bahkan saya bisa pastikan di banyak kota lainpun terdapat hal yang demikian. mungkin karena jumlahnya yang cukup banyak, sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa mereka tidak murni adalah pengemis. Kadang mereka punya pekerjaan yang layak tapi mereka lebih suka mengemis karna pendapatannya lumayan besar. Atau ada juga yang beranggapan mereka adalah kelompok yang terorganisir yang menjadikan mengmis sebagai tumpuan hidupnya. Stigma inilah yang sering mereka dapatkan dari sebagian masyarakat.

Terlepas dari stigma negatif demikian, sebagai umat muslim fenomena seperti ini harus memunculkan rasa tanggung jawab. Sebagai implementasi dari perintah agama untuk menjaga hubungan antarmanusia (hablumminannas). Apalagi realitas ini terjadi di teras masjid sebagai simbol islam. Rumah ibadah sebagai tempat selalu disadarkan dan dimunculkan rasah kasih sayang. Umat muslim menghadap Tuhannya melalui shalat dan bertemu umat muslim lain (dalam shalat berjamaah).

Tapi sangat disayangkan, jika rasa kasih sayang itu hanya sebatas dalam ruang masjid saja. Ketika diluar masjid rasa itu memudar dan hilang. Realitas inilah yang saya dapatkan ketika selesai melaksanakan shalat zuhur. Banyak jamaah shalat zuhur yang tak memedulikan empat bocah yang tergeletak di teras masjid tadi. Selesai shalat sebagian besar dari mereka (baca: jamaah) pulang begitu saja. Namun tak juga dinafikan ada juga yang menatapi mereka dengan ekspresi memprihatinkan.

Segera selesai shalat saya langsung meninggalkan masjid untuk mengambil uang (waktu itu tidak ada uang dalam saku). Saya berniat untuk memberi mereka uang karna ekspresi wajah mereka menggambarkan rasa lapar yang sangat. Segera saya membangunkan mereka untuk memberinya uang dan mengajaknya makan siang, (maaf saya tidak berniat untuk riya dan sombong).

Sungguh pemandangan yang paradoks. Harusnya masjid bukan hanya tempat penyaluran zakat (sedekah) untuk diberikan kepada fakir miskin di bulan Ramadhan. Di luar Ramadhan praktek sedekah harus tetap dilakasanakan. Bila perlu uang yang ada di kas masjid segera digunakan untuk memberi makan siang ke empat orang bocah tadi. 

Inilah yang kurang dipahami oleh umat islam. Islam dipahami secara sempit dalam ibadah ritual saja (shalat, puasa, zakat, dan haji) sementara ibadah sosial yang menjadi manifestasi ibadah ritual tersebut tidak dijalankan. Ingatlah ketika nabi Musa as di perintahkan oleh Tuhan agar segera turun dari bukit tursina (tempat diambilnya kita taurat) pasca. Sang Nabi diperintahkan oleh Tuhan agar memperhatikan kondisi sosial yang ada. Dan demikian juga dengan Rasulullah SAW diperintahkan untuk memperhatikan masyarakat saat itu untuk diajak pada kebaikan.

Komentar