Aku, Isabella dan gema takbir

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar…Gema takbir menghiasi malamku. Memang malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya meskipun masih ditemani oleh segelas kopi hitam. Gema pujian kepada Tuhan ini, menandakan bahwa esok hari akan di adakan sebuah peristiwa besar bagi umat islam di seluruh dunia yakni hari raya qurban, idul adha.

Bulan tampaknya malu-malu untuk menampakan keindahan tubuhnya secara utuh. Aku mengintip di balik jendala markas besarku (kamar kosku) untuk mengetahui keadaan langit yang ternyata cerah dihiasi oleh bulan dan bintang-bintang.  Dalam benak berkata, seandainya mata ini mampu membuka tabir kegaiban mungkin sekarang aku akan menyaksikan malaikat-malaikat Allah sedang menari-nari di seantero langit sembari berzikir, memuja dan memuji Nya. Namun malam itu aku hanya bisa menyakinkan diriku bahwa itu adalah sebuah kebenaran yang tengah terjadi malam ini meskipun mata yang terbatas ini tak mampu menjamahnya.

“Maha kuasa Allah atas segala sesuatu yang menciptakan malam ini dengan penuh keindahan dan ketenangan”.  Sembari menghembuskan nafas panjang tanda kelegahan.

Ketenangan kini melandaku seakan berada pada aliran sungai yang jernih nan sejuk. Meskipun seperti malam-malam sebelumnya tentang kisah aku dan segelas kopi hitam, bahwa dia telah dikunjungi oleh gerombolan semut hitam. Namun keadaanku semakin tentram karena seorang wanita cantik lagi anggun, putri seorang pastur menemaniku mengarungi malam yang cukup mengasikan ini. Di tambah lagi, malam itu yang telah masuk 10 Dzulhijjah yang pernah terjadi peristiwa sejarah nabi Allah, Ibrahim as.

Peritiwa sejarah itu, merupakan sebuah peristiwa tentang hakikat cinta yang sesungguhnya, ketika kekohan cinta mulai di uji. Kita di ajak menyelami makna cinta yang sebenar-benarnya cinta bukan cinta semu sebagaimana cinta kepada dunia. Ingatkah pada kisah nabi Allah, Ibarahim as dan putranya Ismail as? Ibrahim atas perintah Allah, harus ikhlas mengurbankan anak tercintanya, Ismail as untuk dipersembahkan kepada-Nya. Padahal Ibrahim sangat mencintai Ismail tapi justru dengan tangannya sendiri dia harus membunuhnya dengan cara di sembelih. Tapi karena atas dasar cinta kepada Allah lah yang memberikan dia kekuatan untuk ikhlas mengurbankan anaknya. Inilah sesungguhnya hakikat cinta yang sebenarnya, yakni menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya termasuk kepada keluarga.

Ternyata tak jauh beda dengan kisah seorang anak seorang pastur yang menemaniku malam itu. Meskipun peristiwa berbeda namun ada kemiripan semangat perjuangan cinta yang ada pada dirinya. Demi cintanya kepada Allah dia harus mengurbankan agamanya semula dengan memeluk agama islam.

Adalah Isabella. Wanita inilah yang menemaniku saat itu sambil menikmati segelas kopi dan gemah takbir. Terus terang  selain kecerdasan, kecantikan serta keanggunannya, aku sangat terpesona pada perjalanan hidupnya yang berani mencari kebenaran meskipun rintangan berat harus dihadapinya. Dia berasal dari keluarga terpandang di kotanya namun dia berani meninggalkan jabatan dunia itu demi sebuah ketenangan spiritual. Dia rela “mengurbankan” cintanya kepada dunia demi cintanya kepada Allah termasuk bagaiamana dia harus melawan Ayahnya seorang pastur yang taat.

Gema takbir terus berkumandang. Malam semakin larut dan semut-semut hitam mulai mengepung segelas kopi hitamku yang kelihatan pahit namun manis menurut mereka. Aku belum beranjak dari tempat dudukku. Rasa penasaranku kepada wanita mualaf ini terus memberiku energi untuk bertahan dalam larutan malam dan tidak beranjak dari tempat dudukku. Aku terus menyelami perjalanan kisahnya melalui bentangan sabda-sabda-Nya yang tertuang dalam karya sastra.

Meskipun tidak mengerti apa yang dibicarakan, suara ayam yang saling bersahutan malam itu semakin menambah inspirasi. Bagiku beberapa peristiwa di momentum malam itu mengilhamiku hingga membuatku bertekad untuk lebih mendekatkan diri lagi pada Robb, yang Maha mengatur. Aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini, karena semua sudah ada yang mendesainya yakni Allahu Akbar, Allah yang maha besar termasuk kenapa Dia harus mempertemukanku dengan sosok Isabella dan momentum idul qurban. Karenanya sifat duniawi (kebinatangan) yang masih melekat pada diri kita harus segera di”kurban”kan. Pada akhirnya cinta kepada Allah harus di tempatkan di atas segalanya meskipun kita harus mengurbankan alam semesta dan isinya.

Semoga Allah selalu melimpahkan kita petunjuk dan hidayah_Nya. Amin.


Makassar, di saat kumandang takbir di gemakan, pukul 01:55, 10 Dzulhijjah 1433 H / 26 Oktober 2012 M.

Komentar