Seputar agama dan akal

Apakah agama dan akal bertentangan? Mungkin pertanyaan ini yang tepat untuk mengawali tulisan ini. Siang itu, diperpustakaan pusat Unhas, keheningan saya membaca buku tiba-tiba terpecah oleh debat beberapa mahasiswa. Mereka kelihatannya adalah warga baru di Unhas alias mahasiswa baru datang duduk di sekitar saya yang sedang membaca buku.

Dengan memperbaiki kursi yang ingin di duduki oleh mereka, seorang diantara mereka mengeluarkan pernyataan: agama tidak perlu banyak ditanyakan cukup di laksanakan saja. lantas membuat temannya membalas pernyataannya dengan mengatakan: kalau gitu apa gunannya akal yang diberikan Tuhan ? bukankah akal adalah alat untuk berpikir atau menemukan kebenaran?.

“iya, tapi jangan terlalu gunakan akal karena bisa menyesatkan” kata seorang temannya.

Silang pendapat di antara mereka membuatku tidak lagi berkonstrasi pada buku yang ada di depanku. Lagi pula, saya tidak bisa berkonsentrasi penuh untuk membaca jika suasana disekitarku ramai. Akhirnya, terpaksa aku memutuskan untuk mendengar saja perdebatan mereka.

Mendengar pernyataan yang terakhir di atas, tiba-tiba saya teringat pada catatan harian Ahmad Wahib. Catatan harian seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) itu, dikumpul dan dicetak dalam bentuk buku yang berjudul: Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib. Dari judulnya sudah bisa ditebak, isinya akan bercerita seputar pencarian akal (pikiran) terhadap islam.

Perdebatan beberapa mahasiswa baru di atas, setidaknya pernah di alami oleh seorang Ahmad Wahib dalam pencarian dan menguji kebenaran agamanya, Islam. Dari tulisan-tulisan ahmad wahib, dia mengatakan bahwa akal dan agama sebenarnya tidak bertentangan. Bahkan dia tidak ragu untuk menggunakan akalnya semaksimal mungkin bahkan untuk memikirkan dan menggugat Tuhan.

Kurang lebih maksud dalam potongan kalimat dalam bukunya, seperti ini :

“Ya Tuhanku, saya yakin engkau akan bangga padaku jika aku memaksimalkan akal pemberianmu ini untuk memikirkanmu. Bukankah memaksimalkan penggunaan akal yang Engkau berikan adalah bentuk rasa syukurku ?  Maafkan aku jika dengan akal pemberianmu ini aku meragukanmu, tapi aku melakukannya demi benar-benar menyakinimu. Dan aku yakin Engkau akan bangga padaku karena aku tidak secara membabi buta, seperti banyak orang menyakinimu tanpa memaksimalkan akal pemberianmu ”

Buku yang kontroversial ini, dikecam oleh banyak tokoh islam bahkan pernah diharamkan oleh beberapa ulama. Sehingga buku ini ditarik dari peredaran karena ditakutkan jika dibaca oleh mayoritas umat islam bisa menggoyahkan keimanan mereka. Ketakutan itu cukup beralasan tapi disatu sisi jika umat islam tidak dibiasakan dengan benturan-benturan pemikiran maka tidak akan mampu mengimbangi dinamika zaman. Bahkan untuk menyakini kebenaran sebuah keyakinan maka harus berani menerima tantangan pemikiran atau berani dibenturkan dengan berbagai diskursus.

Hemat saya, akal tidaklah bertentangan dengan agama jika kita berani adil dalam berpikir mengikuti kaidah berpikir yang benar. Namun tidak semua realitas keagamaan dapat ditangkap oleh akal. Akal tersubordinasi dibawah wahyu yang mutlak kebenarannya yang kadang rasionalitas manusia tidak mampu menjamahnya.

Jika keyakinan kita benar maka seharusnya kita berani melawan segala pemikiran, wancana atau benturan pemikiran apapun dan menghindar adalah langkah tidak bijak. Sudah Siapkah kita?


Komentar