Berceloteh tentang cinta dan rindu

sabit rembulan itu
tentang aku dan dia, dalam lembaran kisah
dingin malam menusuk hingga pori-pori kulitku
kita gamang dan diam tanpa kata

yakinku,
semua akan bertanya tentang kita dan bahkan irih
birlah, biarlah anjing itu menggongong krna kafilah pun selalu berlalu
tak perlu hujan yang membuatku harus memayungimu
itu absurd, kata kawanku
karna ini adalah rindu
yang memberi kenikmatan yang menyiksa

Demikian puisi yang ku tuliskan untuk seorang sahabat yang dilanda kerinduan pada kekasihnya. Dia begitu ikhlas mengeluarkan energinya untuk merindukan seseorang, yang katanya : merindukanmu tidak senyaman mencintaimu. Entah, disana yang di rindukan itu melakukan hal yang sama atau tidak, namun dia tetap ikhlas merindukannya. Sungguh mulia yang demikian, rindu tanpa tanda jasa.

Membincangkan rindu maka akan setali tiga uang dengan cinta. Hemat saya, rindu adalah ekspresi kecintaan terhadap suatu yang dicintainya. Mungin dalam kasus ini, sebenarnya seorang sahabat ini tengah mencintai kekasihnya namun ekspresinya di utarakan melalui kerinduannya. Dia ingin merangkai kata demi kata untuk mengejewantahkan isi hati yang ingin di alirkan melalui angin malam. 

Saya teringat dengan kisah cinta Laila dan Majnun. Kedua insan manusia ini terlibat dalam asmara cinta yang sangat. Namun mereka harus  menerima kenyataan pahit karena cinta harus berbenturan dengan ego orang tua yang tak merestui hubungan mereka. Tak ayal, mereka pun dipisahkan untuk tidak bertemu agar mereka tidak saling mencintai lagi. Bukannya hilang, melainkan semakin mencintai dan saling merindukan.

Hingga suatu ketika, sang Majnun dengan tidak bisa menyurutkan rasa cintanya kepada gadis puajaannya, Laila. Dia merebahkan badannya di atas padang pasir yang mentari sangat menyengat menusuk ke kulitnya hingga ketulang. Imajinasinya pun dilepaskan dalam sebuah kisah pertemuan antara jiwanya dan jiwa sanga kekasih, Laila. Sang Majnun larut dalam khayalan sebagai ekspresi kerinduannya yang selama ini pertemuannya terhalang oleh kehendak orangtua. Hingga suatu ketika, dalam panasnya bentangan pasir yang seolah tak berujung, hadir Laila sang kekasih Majnun.

“Wahai Majnun aku datang untukmu”. Laila menyapa dengan penuh kerinduan.

Imajinasi yang diciptakan dalam kesendirian tadi terusik oleh suara sang kekasih. Matanya segera terarah pada wujud asli sang kekasih. Namun harapan sang kekasih justru harus sirna oleh sikap Majnun yang berubah.

“Pergi engkau dari sini” Perintah Majnun

Sang Laila tersontak oleh perkataan kekasihnya. Padahal selama ini mereka saling mencintai dan merindukan, tapi mengapa pertemuan yang selama ini mereka inginkan justru harus berakhir dengan sikap Majnun yang seolah tidak merindukannya lagi. Kebingungan dan kekecewaan pun melanda Laila, tubuhnya seolah terkoyak oleh perkataan sang kekasih.

“Saya tidak lagi membutuhkan ragamu berada di hadapanku. Pergi dari sini…!!! Saya hanya membutuhkan jiwa yang abadi yang tak terkekang keterbatasan dunia. Saya tidak mencintai raga yang terkekang oleh zaman, karena jika dia hancur atau mati maka cintaku juga akan mati bersamanya. Cintaku adalah mencintai jiwa yang abadi yang tak mati jika ragamu pergi, maka pergilah dan hilanglah dariku”. Majnun melanjutkan

“Pergilah…!!! Hilanglah…!!! Karena cintaku tidak akan pergi dan hilang bersama ragamu. Karena cintaku adalah abadi” Majnun mengulangi sekali lagi ucapannya

Dari penggalan kisah romantika ini, saya mengatakan bahwa cinta dan rindu adalah dua hal yang tak terpisahkan.  Ketika kita mencintai maka bersiaplah untuk merindukannya dan sebaliknya pula, ketika kita sudah merindu maka secara tidak langsung anda memiliki cinta padanya entah dalam kadar tertentu. Entahlah, saya tidak tahu mana yang duluan lahir, cinta atau rindu. Entahlah, mana yang lebih tinggi derajatnya, cinta atau rindu. 

~Upi, 
Makassar, 17 november 2012

Komentar