Mencoba berbijaksana menemui kebenaran

Sudah beberapa hari ini, saya berdiskusi dengan seorang kawan melalu jejaring sosial dunia maya. Setidaknya yang  menjadi topik pembahasan adalah seputar filsafat. Meskipun tidak fokus pada satu pemikir namun diskusi kami mencoba menyelami makna-makna hidup melalui pendapat-pendapat para filsuf.

Kami menyinggung Hegel, Marks, Nietzche dan lainnya tapi untuk lawan diskusi saya tidak pernah menyinggung pemikiran filsafat dari timur atau islam semisal Ibn Rusd, Al Farabi dan lainnya. Bagi saya ini bukan kebijaksanaan dalam menjacari kebenaran. Karna membincangkan filsafaat maka kita akan membincangkan bagaimana menemukan hakekat kebenaran sehingga membuat kita harus cinta terhadap kebijaksanaan.

Saya ingin beranalogi tentang seekor gaja dan tiga orang buta. Ada tiga orang buta yang menemukan seekor gajah. Sebelumnya orang-orang tersebut belum pernah menjumpai gajah, mereka mencoba untuk meraba-raba, memahami dan menggambarkan tentang fenomena baru tersebut. Yang seorang memegang ekor dan menyimpulkan bahwa itu adalah seekor ular atau tali. Yang lain memegang salah satu kaki gajah tersebut dan menyimpulkan bahwa itu adalah sebatang pohon. Dan seorang lagi memegang sisi dari tubuh gajah tersebut dan menyimpulkan bahwa itu adalah sebuah dinding.

Setiap orang buta tadi membuat kesimpulan yang berbeda tentang se ekor gaja. Jika mereka tidak mencoba meraba secara keseluruhan atau minimal dua bagian tubuh pada gaja maka mereka akan fanatik dengan kesimpulannya. Inilah yang saya maksudkan bahwa ketidakbijaksanaan kita dalam menegetahui cara pandang orang lain membuat kita fanatik ekstrim dengan pemikiran yang kita anut. Dan tak segan-segan menyalahkan secara membabi buta bahkan memberikan label sesat atau mengkafirkannya.

Beginilah jika kita sangat fanatik terhadap sebuah pemikiran tanpa pernah menemukan atau mencari referensi (perspektif) lain. Kita akan terjebak dalam kebenaran egoistis dan menganggap orang lain tak memiliki kebenaran sedikitpun. Harusnya kalaupun kita memang benar maka kita akan lebih bijaksana menggapi mereka yang menurut kita salah. Juga, alangka baiknya kebenaranya itu diperolah dari proses pergulatan pemikiran dari pada menerima begitu saja dari sumber yang satu apalagi tanpa mempertanyakannya. Selain akan mudah goyah karena tidak pernah mendapat ujian-ujian dari pemikiran lain, juga tidak akan bijak dalam melihat pemikiran orang lain.

Jika pembaca pernah membaca catatan harian Ahmad Wahib maka anda akan mellihat bagaimana terjadinya pergolakan pemikirannya padanya karna pencarian sebuah kebenaran. Catatan-catatan harian seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, yang kemudian di bukukan dengan judul “pergolakan pemikiran islam ahmad wahib” sungguh mencengangkan. Kita akan rasakan bagaiamana dia harus meragukan kebenaran yang selama ini orang yakini karena dogma turunan demi sebuah pencapaian sebuah kebenaran.  Untuk menyakini Tuhan, dia tidak hanya bereferensi pada pemikir-pemikir islam melainkan juga pemikir-pemikir barat yang kadang menolak agama (ateis). Sehingga keyakinannya adalah keyakinan yang benar-benar kokoh dan merespon pemikiran lain dengan cara yang bijaksana.

Mengakhiri sedikit celoteh saya pada kesempatan ini, saya ingin mengutip ungkapan Emha Aiunun Nadjib atau biasa di kenal dengan nama panggilan “cak Nun”. Beliau berucap:

“lihatlah cahaya-cahaya kebenaran yang muncul di setiap hati manusia”
 
Semoga kita selalu bijaksana sebagaimana Allah yang Maha bijaksana. Amin.

Komentar