Dua bocah dan pemilukada

Sore itu di pelataran gedung kuliah, dua orang bocah dengan pakaian copang camping dan kotor sedang modar mandir. Duduk beberapa orang mahasiswa sedang menikmati keteduhan siang dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Kelihatannya bagi beberapa mahasiswa itu, sore itu adalah sore yang indah melepas kejenuhan usai melaksanakan rutinitas perkuliahan yang membosankan.
ilustrasi gambar dari google

Di antara deretan mahasiswa yang duduk itu ada saya. Biasanya usai kulia jika tidak ada kegiatan yang penting saya segera meninggalkan kampus. Tapi tidak untuk sore itu sambil menunggu dimulainya diskusi publik yang di adakan oleh sala satu organisasi mahasiswa, saya terus memandangi kedua bocah itu.

Seperti halnya para pedagang asongan lain, kedua bocah ini datang menghampiri kami. Segera saya panggil dengan niat ingin membeli dagangannya. Sebenarnya alasan utama bukan karena ingin membeli melainkan ingin memberinya uang sembari ingin mengetahui lebih dalam perihal kondisi mereka. Sebelum saya bertanya, hipotesis saya adalah mereka sedikit dari banyak korban kemiskinan struktural yang lebih disebabkan karena adanya system yang salah.

Benar saja, hipotesis yang saya ajukan tadi. Ketika saya tanya perihal kondisi mereka.

“Seandainya saya orang kaya kak, saya tidak mau berjualan begini” jawab sala satu bocah, sambil mengoles-oles luka di kakinya yang sudah lama tidak sembuh.

“Saya sebenarnya sekolah tapi berhenti kak, karna bantu ibu dan ayahku cari uang. Temanku ini yang parah kak, ayah ibunya sudah meninggal” dia melanjutkan lagi.

Mereka bukanlah orang malas sehingga miskin. Mereka adalah pekerja keras dan bahkan pahlawan bagi keluarganya. Harusnya kedua bocah ini tidak berjualan seperti ini. Mereka harusnya istrahat atau bermain bersama rekan sebayanya. Tapi apa daya, system yang berlaku di negeri ini tidak mempersilahkan untuk itu. System di negeri ini hanya mengharuskan banyak bocah seperti mereka menjalani masa kecilnya di ‘jalan’.

Pada saat yang sama, di kota saya tempat menuntut ilmu saat ini (baca: Makassar) sedang terjadi eskalasi dinamika politik yang cukup tinggi. Pasalnya sebentar lagi, pesta demokrasi yakni pemilihan kepala daerah tingkat provinsi dalam hitungan minggu akan segera di gelar. Para simpatisan dan tim kampanye sedang gencar-gencaranya melakukan sosialisasi agar kandidat yang mereka dukung dapat dipilih oleh rakyat setempat. Mereka berusaha menciptakan citra positif kandidat yang mereka dukung, begitupun dengan kandidat yang akan bertarung dalam pemilukada ini. Tak jarang mereka memoles keburukan mereka menjadi kebaikan yang dapat menarik hati pemilih agar memilih mereka.

Melayani rakyat. Mengentaskan kemiskinan. Menciptakan lapangan kerja. Memberikan pendidikan yang layak. Kesehatan yang baik. Dan segala janji-janji indah lainnya telah menjadi pemandangan yang lumrah.

Terus terang saya jenuh dengan prosesi-prosesi semacam ini. hajatan demokrasi seperti ini bukan lagi hal  yang asing terjadi di Indonesia. Janji-janji manis sudah menjenuhkan namun jarang di buktikan. Kita dapat melihat realitas yang terjadi pada dua bocah ini. Belum usai penderitaan mereka, kandidat yang rata-rata adalah pemerintah yang tengah berkuasa berhasrat kembali untuk menjadi penguasa di periode berikutnya. Padahal janji pada saat kampanye sebelumnya hanyalah janji kosong yang begitu indah tanpa ada pembuktian. Kedua bocah ini di hitung pada saat menjelang pemilukada dan setelah itu mereka tidak dihitung.

bocah yang malang...

Komentar