Hujan Januari dan Aksi Balasan

Sudah menimpang (anomali). Begitulah kondisi cuaca di kota Makassar sekarang. Rasanya hujan belum bosan untuk mengalirkan airnya kepenjuru kota. Terhitung sejak permulaan awal tahun, siang harinya usai kebanyakan orang merayakan pergantian tahun baru masehi, hujan mulai mengguyur kota yang dijuluki kota daeng ini. Dan sekrang tanda untuk berhenti bisa dikatakan belumlah nampak malah menurut badan metereologi geofisika dan klimatologi Makassar, hujan ini akan masih akan berlangsung hingga dua bulan kedepan atau terhitung tiga bulan dari permulaan bulan ini.

Selama saya di kota ini, hujan seperti ini barusan saya dapatkan. Hujan, merupakan fenomena lumrah karena bagian dari sirkulasi alam dalam dinamika kehidupan bumi. Namun untuk kota tempat saya menuntut ilmu ini, kelihatannya telah terjadi keanehan dalam fenomena seperti ini. Hujan tak seperti biasa lagi, awan yang merupakan tempat berkumpulnya titik-titik air kini meluapkan isinya yang tak habis-habisnya. Lihat saja, bisa dikatakan sudah satu minggu hujan belumlah usai dan mulai meresahkan masyarakat kota Makassar.

Kumpulan titik-titik air yang menggumpal menjadi awan hitam kini tumpah di bumi hingga banyak tempat di Makassar tergenang dengan banjir. Sala satunya terjadi di kawasan (kompleks) saya tinggal. Menurut pengalaman selama beberapa tahun tinggal di kota ini, banjir seperti ini tergolong baru. Tentunya kita harus bersepakat bahwa tidak ada yang kebetulan, semua terjadi karena adanya sebab yang menyertainya. Jika sebelumnya banjir seperti ini sulit ditemukan dan sekarang telah melanda, maka sekali lagi ada yang membuatnya demikian.

Dalam mitologi bangsa china, tahun yang barusan kita masuki yakni 2013 M adalah tahun “naga air”. Saya kurang dapat memahami tafsiran secara komprehensif mengenai istilah ini, namun konon dan menurut informasi yang beredar bahwa salah satu mengejewantahannya adalah terjadinya hujan dan luapan air yang tak seperti biasanya. Mungkin benar, mungkin juga salah tapi saya tidak ingin membawa pikiran kita dalam alam mitos seperti ini.

Dalam Nietzche, seorang filsuf berkebangsaan Jerman mencoba membawa kita pada alam berpikir yang rasional untuk membunuh mistifikasi alam berpikir manusia. Kita di ajak berpikir ilmiah dengan mengedepankan rasionalitas untuk mengetahui sebab-sebab fenomena alam. Termasuk bagaiamana kita harus melihat sebab ilmiah dalam rantai sebab akibat hingga anomali hujan hingga bumi harus menyeimbangkan dirinya dengan melakukan pengggenangan diri (banjir) secara ilmiah pula.

Anomali hujan berarti anomali iklim. Para ilmuwan telah bersepakat tentang bagaimana manusia memiliki andil dalam pencipta anomali ini. Historitas telah berkisah bagaimana manusia pernah hidup dalam keseimbangan alam semesta. Manusia dan alam adalah dua komponen yang saling menghargai satu sama lain dan “berderajat” sama. Manusia melihat alam sebagai subjek (kawan) dalam kehidupannya bahkan kadang takut untuk menyakitinya. Alam dipelihara dan digunakan tak berlebihan atas dasar kerakusan.

Sekarang dunia telah berubah. Alam dan manusia seolah vis a vis ingin memenangkan persaingan. Kerakusan manusia telah menghilangkan tradisi kasih sayang terhadap alam. Alam kini telah menjadi objek hasrat menguasai oleh manusia, dieksploitasi secara membabi buta tanpa mempertimbangkan kehidupan alam maupun manusia kedepannya. Perkawanan manusia dan alam telah berubah menjadi permusuhan. 
Keseimbangan

Hukum kehidupan alam semesta (sunnatullah) selalu terjadi keseimbangan. Ada siang-malam, muda-tua, panjang-pendek, baik-buruk dan segala bentuk keseimbangan lain yang saling menutupi. Begitu juga dengan alam dengan fenomena hujan hingga membuat air meluap (banjir). Sebelumnya mereka kurang mengenal bahkan tidak sama sekali mengenal tradisi alam seperti ini. Namun semua itu berubah dengan kreatifitas manusia yang salah digunakan demi memenuhi hasrat “menguasai”nya. Akhirnya, alampun melakukan peneyimbangan diri karena dirinya tak seimbang lagi.

Jika dia menumpahkan hujan yang banyak berarti bumi telah terlalu panas untuk di huni oleh makhluk hidup. Kumpulan titik air di awan kemudian menjadi hujan ini, dikarenakan menguapnya panas bumi. Semakin panas bumi maka semakin banyak pula titik air tersebut berkumpul. Juga tak terkecuali dengan banjir yang menggenangi bumi, yang merugikan makhluk hidup yang mendiaminya. Ini tak lain merupakan bentuk balasan atas dirinya yang tidak seimbang lagi dengan tujuan menyeimbangkan dirinya.

Bumi merasa tidak seimbang lagi, hingga dia harus berusah menyeimbangkan diri. Pohon sudah banyak dibabat habis, sampah telah mengotori bumi, pencemaran dimana-mana oleh tekhnologi-tekhnologi modern dan berbagaia bentuk pengrusakan lainnya. Kondisi bumi yang tidak seimbang ini mengharuskan dirinya untuk melakukan adaptasi-adaptasi agar dia bisa tetap hidup. Maka wajar saja jika bumi melakukan longsoran tanah, tsunami, banjir, hujan yang tak kunjung usai dan berbagai cara lain. Semua penyebab-penyebab yang membuat bumi melakukan upaya penyeimbangan tidak lain adalah andil manusia yang cukup besar bahkan dialah pelaku utamanya.

Aksi balasan alam (termasuk bumi) terhadap manusia yang membuatnya tidak seimbang, tidak terjadi begitu saja tanpa ada sebab yang menyertainya. Jika manusia merusak bumi maka untuk menyeimbangkan bumi yang rusak maka dia menganggu ketentraman manusia dengan bencana yang di timbulkannya. Bukankah Allah telah berfirman dalam kitab sucinya Al-Quran Surat Ar-Ruum ayat 41 :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).”

Makassar, markas besarku (kos, red), saat lapar, hujan dan banjir telah mengepung, 6 Januari 2013

Komentar