Jenuh dan pasar tradisional

Pernakah anda merasa jenuh? Saya yakin anda pasti pernah menemui feneomena ini. Jenuh merupakan kondisi alamiah manusia. Apalagi ketika manusia terjebak dalam rutinitas aktivitas, tak terkecuali yang beraktivitas secara aktif, pasifpun juga mengalaminya. Itulah yang saya alami dalam hari terakhir ini. Rasa suntuk serta stagnasi pikiran seolah menyerangku membuatku bosan untuk beraktivitas seperti biasanya, termasuk untuk menulispun saya seolah mengalami kebuntuan insipirasi. Inilah jeleknya rutinitas tanpa ada aktivitas lain yang membuat hari-hari menjadi lebih ‘berwarna’.

Untuk keluar dari zona yang stagnan ini saya menoba mencari aktivitas lain. Akhirnya saya putuskan untuk menemani seorang teman untuk pergi kesuatu tempat. Sebenarnya ada beberapa alternatif pilihan tujuan namun sengaja saya memilihkan ke tempat yang lebih jauh meskipun saat itu hujan sangat berpotensi turun. Tapi saya tetap menguatkan tekad untuk merealisasikan niatku meskipun risiko hujan plus macet harus saya lalui. Ini tidak lain demi mendapatkan zona baru yang membuat pikiran dan aktvitas saya lebih terdinamis lagi. Terlepas sahabatku tahu atau tidak, yang penting kepentingannya terwujud maka tidak jadi masalah.

Dalam ontologi (objek pengetahuan) semakin banyak alat epistemologi (alat pengetahuan) bekerja maka semakin banyak hal atau pengetahuan yang di dapatkan pula. Karena alasan ini, saya memilih perjalanan yang jauh agar banyak insipirasi (pengetahuan) yang diperoleh, meskipun hujan, macet atau konsekuensi lain harus saya dapatkan. Bahkan dengan konsekuensi seperti yang tersebut tadi justru dapat dijadikan insiprasi (dialektika) baru untuk mendinamiskan pikiran dan keuntungan lainnya bisa dijadikan referensi tulisan. Yah, mungkin seperti yang saya tulis sekarang.

Sosial-budaya, pasar tradisional

Anda pasti kenal dengan frase ini ‘pasar tradisional’. Definisi sederhananya, pasar merupakan tempat orang melakukan transaksi jual beli. Namun dalam perkembangannya aktivitas manusia yang semakin kreatif sehingga melakukan modifikasi-modifikasi. Pasar yang tadinya tradisional sekarang menjadi tempat yang lebih modern yang biasa dikenal dengan pasar modern. Lebih familiar lagi bentuk-bentuknya dapat dilihat di daerah-daerah perkotaan maupun semi perkotaan dengan berdirinya pasar swalayan (mall), minimarket ataupun sejenisnya.
ilustrasi gambar di ambil dari google, maklum penulis tidak punya kamera untuk memotret, membuka ruang penderma memberi kamera kepada saya. hehehe

Dan tempat yang kami kunjungi itu adalah pasar tradisional. Apa yang menarik dari tempat ini? Atau kenapa tidak ke pasar modern saja? Padahal kita semua tahu bahwa pasar tradisional identik dengan hal-hal yang tradisional meskipun dunia sudah modern yang ditandai dengan perkembangn IPTEK yang menawarkan segala bentuk kemudahan.

Memang betul realitas seperti di atas. Pasar tradisional, nuansa tradisionalnya masih terus dibawa tak peduli dunia sudah modern atau belum. Bahkan mungkin karena alasan tradisional, pasar ini kelihatan kumuh, becek serta aroma yang tidak sedap menjadi pemandangan tersendiri yang tidak dirubah. Berbeda dengan pasar modern yang begitu megah dengan infrastruktur dan segala tampakan ‘fisik’ yang indah, sedangkan pasar tradisional jauh berbeda. Para penjual menjajakan jualannya dengan beralaskan papan-papan, Koran, atau segala sesuatu yang bisa dijadikan alas tak peduli bentuknya asalkan substansinya adalah bisa dijadikan alas untuk berjualan. Bahkan tak jarang kita melihat tanah menjadi tempat diletakannya barang-barang jualannya.

Meskipun itu ternyata pasar tradisional memilki fungsi sosial-budaya yang cukup penting, meskipun juga secara perlahan telah terpinggirkan oleh pasar-pasar modern. Kita memang tidak bisa lepas dari perkembangan IPTEK dan segala bentuk manifestasinya, temasuk moderenisasi. Tapi fenomena moderenisasi juga bukanlah proyek peradaban manusia yang serta merta membawa kebaikan. Dalam prakteknya malah banyak ketimpangan yang di hasilkan yang salah satunya tereduksinya nilai kearifan sosial-budaya. Atas nama ‘pembangunan’ (development) semua dilakukan tanpa menghiraukan dampak sosial-budaya yang melekat dalam praktek kehidupan manusia. Atas nama akumulasi modal (uang), kapitalisme membajak moderenisasi melalui berbagai macam tipu muslihat termasuk menggunakan term ‘pembangunan (developmentalisme)’ seperti yang digunakan di era orde baru hingga sekarang pun dilakukan untuk melampiaskan hasrat menguasainya. Tak ayal, banyak yang dikorbankan dalam semua aspek kehidupan masyarakat dan lagi-lagi yang terpenting adalah sosial budaya.

Bagi penulis, pasar tradisional merupakan simbol budaya masyarakat yang cukup arif. Kita tidak boleh melihat pasar tradisional dengan sebelah mata atau dari luar saja tanpa menyelami secara mendalam nilai-nilai sosial apa yang terkandung di di dalamnya. Lihatlah proses yang terjadi didalamnya, proses jual dan beli berlangsung dengan pola komunikasi yang dua arah antara penjual dan pembeli. Penjual menawarkan barang dagangannya dan pembeli meminta dengan harga yang di inginkan. Terjadilah proses tawar menawar antara kedua bela pihak yang membuat proses budaya komunikasi-kebersamaan serta saling kenal mengenal. Ini sangat berbeda dengan proses yang terjadi dalam pasar modern, dimana hanya terjadi hubungan sosial antara penjual dan pembeli sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali. Bagaimana kita membeli barang dagangan hanya dengan mengambil di tempat yang tersedia tanpa ada proses tanya jawab atau tawar menawar dengan penjual. Pasca itu, kita tinggal menuju kasir untuk membayar dan setelah itu kita pergi tanpa mengenal lagi siapa orang yang pernah kita temui.

Pasar tradisional juga menjadi ruang sosial ketika manusia semakin menyempitkan diri dalam ruang individual karena tekhnologi yang membuat manusia semakin individualis. Mekanisme seperti ini dapat dirasakan bagaimana jejaring media sosial seperti facebook, twitter, kaskus atau sejenisnya telah mengurangi proses pertemuan ril atau fisik antarmanusia. Padahal interaksi dalam dunia fisik, lebih memiliki nilai sosial yang tinggi salah satunya hubungan emosional antara pelaku interaksi semakin baik jika dibandingkan dengan pertemuan yang hanya di dunia maya dalam jejaring sosial.
ilustrasi gambar di ambil dari google, maklum penulis tidak punya kamera untuk memotret, membuka ruang penderma memberi kamera kepada saya. hehehe
                                           
Selain itu, pasar tradisional juga adalah ruang kebersamaan siapa saja yang jarang menampakan identitas kelas sosial. Orang kaya dan miskin sama saja, mereka akan masuk pada ruang tradisional yang menurut beberapa budayawan bahwa nilai tradisional termasuk kebersamaan adalah fitrawi (naluriah) manusia. Berbeda dengan pasar modern yang dari tampakan fisik serta kenyamanan yang cenderung sebegai simbol keangkuhan (kapitalisme) orang kaya terhadap orang miskin. Di tempat ini kelas sosial sangat jelas, antara kaya dan miskin. Rata-rata yang masuk dalam pasar modern seperti ini adalah mereka yang memiliki ekonomi menengah ke atas, dengan kata lain jarang orang miskin (kelas bawah) masuk dalam pasar ini. Lagi pula banyak barang yang dijual di tempat ini cenderung mahal karna akumulasi berbagai restribusi pajak dan cost lainnya dibanding pasar tradisional yang murah meriah serta merupakan denyut nadi ekonomi masyarakat kelas bawah bahkan negara (ekonomi kerakyatan).

Setidaknya inilah yang menjadi insipirasi ketika kita ingin keluar dari zona stagnasi yang menjenuhkan. Kita harus selalu berhati-hati terhadap rutinitas tanpa di imbangi dengan aktivitas lain yang dapat lebih mendinamiskan pikiran. Mungkin kata kuncinya adalah carilah hal-hal yang baru di luar kebiasaan rutinmu agar pikiranmu lebih berdialektika dan hidupmu lebih dinamis. Berjalanlah di alam semesta ini serta membacalah segala yang dapat dibaca. Semoga inspirasi (hikmah) yang tersembunyi itu di dapatkan.

~Makassar, masih di mabesku, 24 Januari 2013

Komentar