Ruangan kosong yang indah

Malam itu, beberapa orang mahasiswa entah apa yang mereka lakukan di sebuah ruangan kosong yang semakin dingin. Selain karna cuaca telah masuk pada musim hujan yang cukup ekstrim plus pendingin ruangan yang masih saja terus bekerja meskipun tidak lagi diperlukan. Kira-kira hampir pukul 3 malam, mata mereka belum ada indikasi rasa kantuk. Mereka saling bertanya-tanya tentang perihal sebab kenapa mereka belum ingiin tidur. Tak ada rencana untuk berada di dalam ruangan itu, karena satu persatu-satu masuk tanpa ada agenda pertemuan sebelumnya. Salah satu di antara mereka adalah saya, Marwan.

Bisu seakan ada perasaan bersalah yang menyelumuti ruang yang sedikit kotor itu. Tak ada suara yang mencoba bangkit untuk memcahkan keheningan, semua seolah takut untuk bersuara walaupun hanya sekedara mengucapkan satu huruf. Sibuk, duduk dengan urusan masing-masing tapi tetap tanpa suara. 

Dua orang teman masuk menghampiri kami di dalam ruangan itu. Keduanya bagai bunga indah di taman yang gersang. Terus terang cukup manis dan sekaligus menjadi penyemangat malam, keduanya datang mengucapkan salam. Keheningan pecah berubah menjadi sedikit gaduh karena menjawab salam dari dua mahasiswi yang juga teman kami. “Waalaikum salam wr. wb.” Kami sontak bersamaan menjawab.

Di atas meja sambil tertunduk membaca makna sabda-sabda Tuhan yang tertulis dalam Al-Quran, saya segera berpindah duduk di kursi yang disampingnya.

“Hei kalian,,, apa yang kalian lakukan disini? Kenapa belum tidur?” tanya seorang teman (salah satu mahasiswi yang baru masuk ruangan).

“Tidak,,, tidak ingin tidur saja.” Saya langsung menjawab dan teman yang lain ada yang sibuk mengutak atik telpon genggam, tertunduk di atas meja seolah lagi galau dan ada juga yang sekedar duduk besandar di kursi sambil menatap langit-langit ruangan saat itu, entah apa yang sedang dipikirkan mungkin juga sedang galau. hehehe...

“Trus, kalian berdua kenapa juga belum tidur?” saya melanjutkan.

“Sama, sama seperti kalian juga. Kami juga tidak tahu kenpa belum ngantuk” jawabnya. “Kalau sudah begini, tunggu ya…??? saya buatkan kopi dulu supya kita bisa ngobrol lama dan seru” Lanjutnya.

“Wah, good idea. Lebih cepat lebih baik” Ujar salah seorang teman. Kami pun semua memberikan isyarat tanda persetujuan.

“Tunggu ya, kami berdua buatkan dulu kopinya” Dengan senyuman manisnya mereka meninggalkan kami di ruangan yang semakin dingin.

Suara teman kami tadi, telah membuka babak episode kehidupan kami di malam itu. Diam menjadi riuh seolah menjadi pasar tempat orang melangsungkan jual dan beli. Seorang teman membuka percakapan tentang makanan. Saya segera berasumsi bahwa dia sedang lapar. Dia langsung berceritra tentang makanan-makanan laut kesukaannya.

“Yah, ikan cakalang sirip kuning” Ucapnya dengan penuh semangat. Pikirku, semakin membenarkan asumsi bahwa dia dilanda rasa lapar. Diapun bercerita tentang bagaimana dia pernah mengunjungi kampung ayahnya. Di sana dia menyebut kuliner-kuliner laut khas daerah asal ayahnya. Dia menjelaskan bagaimana mudahnya ikan cakalang ini di dapatkan di kampung ayahnya dibanding di kota kami menuntut ilmu saat itu (baca: Makassar) yang harganya cukup mahal. Dengan ini kami juga menghubung-hubungakan kondisi geografis dan faktor lain termasuk ekonomi yang membuat ada perbedaan harga seperti ini. Semakin banyak bahan pembicaraan kami saat itu. Ruangan semakin gaduh, suara tertawa, teriak, musik serta yang lainnya pun menjadi warna tersendiri malam itu.

Akhirnya salam kembali terdengar. Pembuat kopi akhirnya masuk dengan segala sesuatu yang di perlukan untuk menikmati kopi di malam yang dingin itu. Tak lupa kami membalas dengan salam kembali, gelaspun di isi dengan kopi yang cukup panas.

“Pernah makan bulu babi?”  saya bertanya. Teman si pembuat kopi, sontak menjawab “Marwan, suka makan itu? kalau aku takut”. Maklum saja, orang-orang di Makassar bisa di katakan tidak ada yang memakan hewan laut ini. Kebetulan teman si pembuat kopi ini, orang asli Makassar.

“Kalau di kampung itu makanan favorit orang-orang. Dari dulu makanan ini adalah makanan nenek moyang kami disana. Hewan laut ini banyak proteinnya loh” saya menjelaskan dengan seksama.

“Iya? Betul kah Marwan?” Dia memperjelas dengan pertannyaan retorisnya. “Kalau saya suka kepiting, pasti ada di kampungmu kan?” dia melanjutkan.

Sambil tersenyum, saya menjawab ”Iya ada, enak itu. Saya juga suka makan kepting”

Tiba-tiba teman yang menceritakan tentang ikan cekalang sirip kuning tadi langsung menyahut. Ternyata dari tadi secara seksama dia menyimak pembicaraan tentang bulu babi.

“Saya juga suka kepiting, apalagi kalau di belah isinya. Saya paling suka telurnya”. Dugaanku semakin mendapat titik terang bahwa dia benar-benar lapar. Hehehe…

Selain kami bertiga yang mendominasi persoalan makanan khas daerah masing (kuliner) juga beberapa orang teman yang lain bercerita tentang banyak hal termasuk persoalan cinta dan persoalan pribadinya (yah, berkecenderungan lagi galau. Hehehe). Memang tidak dapat di mungkiri, topik cinta selalu menjadi hangat untuk di bicarakan.Tukar pikiran dan pengalaman pun terjadi. Masing-masing berbicara tentang pengalaman dan kebudayaan masing-masing khususnya seputaran kuliner.

Inilah indahnya perbedaan. Memang perbedaan tak jarang membuat suasana menjadi runyam. Bahkan konflik pun terjadi karenanya. Bukan berarti perbedaan itu harus di hilangkan agar tidak menimbulkan konflik. Melainkan harus di kelolah dengan baik karena perbedaan adalah keniscayaan. Perbedaan memiliki ke indahan yang akan terungkap ketika kita mampu memaknainya.

Inilah Indonesia yang heterogen. Bangsa yang memiliki banyak perbedaan. Suku, bahasa, budaya, makanan khas, adat istiadat karakter masayarakat, agama dan segala perbedaan lainnya.  Perbedaan ini akan menjadi rahmat jika dapat di rubah menjadi ke indahan. Dan itu akan terwujud jika kita mampu memaknainya dan mengelolahnya dengan baik. Jika tidak perbedaan itu akan menjadi boomerang bagi bangsa kita, keindahan akan menjadi suasana yang keruh dan pada puncaknya terjadi konflik sosial.

~Makassar, masih di mabesku, 27 Januari 2013.
cerita di malam minggu, tadi malam.

Komentar

  1. coba, kata2nya sdikit d campur dgan bahasa asli, jadi seolah2 ceritanya agak orisinal.. mis " mina manga te tihe? (Pernah makan bulu babiPernah makan bulu babi) ? :D

    BalasHapus
  2. hehehe.... bisa juga tapi kalau dengan bahasa tomia nnti tidak mengerti temanku.

    BalasHapus

Posting Komentar