Butuh percaya diri

Membaca dan menulis adalah hal yang menjadi rutinitas saya. Akhir-akhir ini, aktivitas ini kurang terlaksana, sebab  saya disibukan oleh aktivitas lain. Bukan berarti saya sengaja untuk meninggalkannya namun karena aktivitas lain ini cukup menguras energi dan waktu sehingga yang lain pun terabaikan. Juga, sebenarnya ada rasa kebosanan yang cukup menghantui perasaan dan kebuntuan yang menghantui pikiran. Tapi saya yakin keadaan seperti ini tidak hanya di alami oleh saya, karena semua manusia juga pernah berada pada titik klimaks dimana ada rasa hambar yang biasanya manis, bosan.

Saya membaca sebuh kolom di sala satu harian nasional. Di situ dijelaskan, penulis sehebat apaun pasti merasakan apa yang seperti saya rasakan. Jika sebelumnya dapat menulis dalam waktu stengah jam untuk satu artikel, sekarang akan menghabiskan berjam-jam. Mungkin si penulis akan hanya bingung di depan layar komputernya atau terbatah-batah atau bahkan tidak tahu apa yang akan ditulisnya. Ini juga berlaku bagi yang para pembaca dimana kebosanan itu akan mendatanginya jika tidak tahu cara mengelolahnya. Yah, inilah manusia yang tidak utuh performannya secara terus menerus.

Mungkin kalau pambaca membaca tulisan-tulisan dalam bolg ini akan terasa ‘stagnan’ alur atau irama menulinya. Atau mungkin juga tema, konten atau tagline tulisan-tulisannya agak mirip dan membosankan. Sebenarnya saya ingin merubah rubrik yang lain misalnya tentang cerpen atau yang lainnya. Tapi sekrang masih sedang di usahakan, lagian saya belum begitu paham dan terbiasa menulis rubrik-rubrik yang lain. Inilah proses belajar tentang bagaimana mengembangkan kemampuan yang sebelumnya tidak diketahui atau mungkin sedikit diketahui menjadi lebih diketahui. Begitulah mungkin cara untuk menghidari kebuntuan berpikir agar kejenuhan dapat segera tercairkan dan aktivitas bisa lebih  berwarnah.

Tentang menulis, saya kadang kurang percaya diri. Apakah saya telah menjadi penulis dengan kualitas tulisn yang bagus? Saya kadang merasa bahwa capaian itu belum saya capai. Ketidakpercayaan ini menyebabkan kurang begitu mudah saya menulis. Rasa pesismis sudah menyerang, mengurangi totalitas performa dalam menulis. Padahal jika di baca tulisan-tulisan sebelumnya bisa di katakan cukup bagus, pembaca lainpun mengatakan demikian.

Teringat dengan sebuah kisah nyata tentang seseorang yang akan ikut dalam sebuah pertandingan olahraga. Dia kurang percaya diri untuk menang ketika melihat lawan mainnya begitu hebat dalam latihan sebelum bertanding. Dia sudah merasa pesimis dan inferior serta menggap dirinya akan kalah nantinya. Kondisi dirinya kemudian disampaiakan pada sahabatnya. Sang sahabat pun memberinya saran agar dia tetap optimis dan percaya diri. Caranya adalah dia harus membayangkan bermain seperti pemain hebat yang dia kagumi. Singkat cerita dia menang dalam pertandingan itu dan kemampuannya justru lebih hebat.

Mungkin inilah cara yang saya lakukan sekarang. Percaya diri yang berkonsekuensi pada sikap optimisme adalah awal baik untuk melaksanakan sesuatu, apaupun itu jika ingin meraih hal yang maksimal. Bagi yang memiliki sikap percaya diri dan optimisme bisa dikatakan keberhasilan yang akan di lakukannya sesungguhnya sudah lima puluh persen. Karena sal satu faktor kekalahn orang dalam mencapai tujuannya adalah ketidak percayaan diri dan rasa pesimisme. Maka mungkin ini yang harus saya lakukan sekarang dan terbukti saya begitu dengan mudahnya menulis tulisan ini. Pembaca juga bisa mencobanya. Silahkan.

~Makassar, masih di mabesku, 9 Februari 2013    

Komentar