Kuliah yang membosankan

Kuliah. Kata yang cukup membosankan untuk saya saat ini. Inilah aktivtas mahasiswa yang sedang berusaha mencari pendidikat pendidikan yang cukup bergengsi dari negara. Predikat seperti ini juga bisa menjadi pencipta kasta dalam masyarakat karena perbedaan strata sosial, antara yang bergelar dan tidak. Diploma, sarjana, master hingga guru besar menjadi pembeda antarmanusia dan tak jarang menimbulkan rasa ke angkuhan bagi pemiliknya.

Ketika penulis menulis artikel ini, bisa dikatakan telah dimulai perkuliahan semester baru. Suasana kampus tidak seperti biasa di saat mahasiswa sedang libur kuliah. Kini sudah mulai ramai oleh mahasiwa yang sedang terlibat dalam prosedur yang cukup berbelit-belit. Urusan adminitrasi sebelum mengikuti kuliah harus mengikuti mekanisme yang ada yakni prosedur birokrasi kampus yang cukup rumit tapi kolot. Mereka terlihat sangat antusias melakukan semua mekanisme itu, demi meraih sebuh gelar yang disematkan pada sebuah kertas kosong dengan tambahan huruf tertertentu di belakang namanya.

Sesungguhnya saya bosan dengan keadaan seperti ini. Mengikuti prosedur birokrasi kampus yang cukup menguras energi dengan segala ini dan itunya. Saya tidak begitu tahu, kenapa demikian. Tapi kecenderungan berpikirku, ini adalah sebuah cara yang sangat kuno dan semrawut. Selain itu, para pegawai birokrasi juga yang acuh tak acuk melayani mahasiswa yang merupakan bagian rakyat Indonesia yang berhak atas pendidikan yang layak. Padahal mereka sudah di gaji oleh negara dengan uang rakyat, terutama dari pajak yang selama ini dibayarkan. Apalagi kewajiban yang diharuskan sudah saya dan mahasiwa lain tunaikan. Mungkin tepat kalau kami (baca: mahasiswa) yang merasakan kondisi seperti ini mengatakan sedang ‘terzalimi’.

Belum lagi jika kita menyoal kurikulum pendidikan yang diberlakukan. Kurikulum merupakan saluran yang digunakan oleh penguasa untuk menebar ideologi tertentu. Fakta di banyak negara di dunia tak terkecuali di Indonesia menjadikan pendidikan dengan kurikulumnya sebagai alat untuk mencipatakan dukungan ideologi untuk tujuan tertentu, terlebih untuk kepentingan rezim. Keluaran lembaga pendidikan sengaja di lakukan kontrol intelektual (cara berpikirnya) melalui segala mekanisme yang ada mislanya buku bacaan, tenaga pengajar hingga kurikulum agar mengikuti kemauan negara.

Fakta ini yang cukup memusingkan. Terus terang hati kecil ingin melawan realitas ini dengan meninggalkan dunia pendidikan formal. Tapi apa daya banyak hal yang menjadi pertimbangan dan cukup kuat menyeretku untuk tetap dalam kondisi yang mengekang ini. karena kita masih hidup dalam sebuah negara yang memiliki system yang cukup kompleks maka sangat sulit untuk mengambil jarak untuk keluar dalam sistem. Kita di paksakan untuk selalu mengikuti mekanisme yang telah di tetapkan negara yang bersifat memaksa dan jika kita melanggar maka sanksi akan berlaku.

Saya mahasiwa ilmu sosial di salah satu universitas di Makassar. Terus terang kurikulum yang tertera dalam perkulihan sudah sangat usang. Sudah ketinggalan zaman dan terlalu membicarakan teori-teori yang konvensional yang susah untuk berkomunikasi dengan realitas kekinian. Sementara realitas sosial yang muncul memberikan fakta baru yang banyak bertentangan dengan teori-teori yang di pelajari. Tapi anehnya, realitas ini jarang di gubris mala di biarkan lewat begitu saja tanpa ada penyesuaian demi mengimbangi perkembangan zaman yang semakin kompleks. Hal ini dapat di jelaskan dari begitu mencokolnya paradigma positvistik dalam ilmu sosial kita dari era kolonial bahkan hingga sekrang di era reformasi yang katanya sudah menjujung nilai-nilai ‘demokratis’. Paradigma yang melakukan universialisasi terhadap ilmu pengetahuan bahwa semuanya berlaku sama, padahal tidak untuk ilmu sosial yang meniscayakan perubahan sosial yang terus menerus.

Hal ini juga didukung oleh banyak tenaga pengajar (dosen) yang masih terkoptasi dengan cara berpikir yang lama. Para tenaga pengajar seperti ini umumnya adalah didikan orde baru yang telah lama mengkoptasi cara berpikir mereka. Mereka di arahkan agar mengikuti pola pembangunan orde baru yang otoriter, yang jarang membuaka ruang dialogis. Daya kritis pun di perlemah dan tidak mampu keluar medobrak kekauan paradigma yang selama ini bercokol dalam dunia pendidikan di Indonesia. Mereka melihat ilmu sosial adalah sesuatu yang objektif dan universal layaknya ilmu eksat padahal mengharuskan subjetifitas sesuai dengan perubahan sosial yang ada.

Sekali lagi ingin keluar dari kondisi ini tapi ibarat memeluk gunung tapi tangan tak sampai. Banyak alasan yang menjadi pertimbangan, bukannya kalah atau tidak konsisten untuk mengaktualkan ke kritisan dalam ranah implementasi. Namun sebenarnya melawan tidak mesti keluar dari kondisi (system), melawan juga bisa menebarkan virus kebaikan dalam sistem yang rusak.

Mungkin ini sekelumit keluh kesah saya terhadap dunia pendidikan di Indonesia terutama di tingkat universitas. Sebenarnya banyak hal yang perlu dibahas dalam menyoal pendidikan. Yang penting untuk dilakukan adalah bagaimana melawan hegemoni ilmu pengetahun itu. Maka bukalah diri untuk segala perspektif ilmu pengetahuan agar tidak terkoptasi dalam satu paradigma yang membuat kita melakukan taqlid (fanatik) buta. Mungkin mengakhiri tulisan ini, sebuah kata bijak yang patut di jadikan inspirasi bagi kita semua bahwa jadikanlah orang yang kau temui adalah guru dan tempat yang kau temui adalah perpustakaan bagimu.
~Makassar, 5 Februari 2013

Komentar

Posting Komentar