Tuhanku atau Tuhanmu ?

Suatu ketika saya mengucapkan selamat hari ulang tahun kepada seorang sahabat dalam jejaring sosial dunia maya. Dalam ucapan itu saya menyisipkan doa agar selalu sukses menjalani kehidupan dunia dan akhirat kelak. Selang beberapa jam, sahabat saya ini mengirim balik doa kepada saya yang kurang lebihnya sama dengan yang saya ucapkan padanya.

Doa merupakan bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan. Bahwa kita manusia tidak kuasa penuh atas hasil yang kita usahakan. Melainkan Tuhanlah yang memiliki kuasa total atas semua apa yang ada di alam semesta ini tak terkecuali hasil atas usaha tadi.

Tuhan? Tuhan yang mana? Tuhan siapa? Mungkin pertanyaan ini agak menggangu akar teologis yang selama ini telah tumbuh pada diri kita dan malah sudah berbuah dalam bentuk pengabdian kepada Tuhan. Tuhan itu banyak karena agama juga banyak yang masing-masing memiliki Tuhan yang berbeda. Padahal harusnya Tuhan itu satu, utuh, tidak terbagi serta tidak terbatas. Jika Tuhan banyak maka Tuhan bisa terbagi-bagi sehingga bisa dikatakan dia itu terbatas, dibatasi oleh Tuhan yang lain. Dengan kata lain harus ada satu Tuhan yang benar di antara banyak Tuhan itu, tidak boleh ada lebih Tuhan.

Lantas, pada Tuhan siapa kita berdoa? Tuhan agamaku, agamamu, agama kalian atau agama siapa? Doa adalah hubungan pribadi (batin) antara hamba (pendoa) dan Tuhannya. Dia masuk dalam ruang pribadi batiniah yang tidak bisa dimasuki oleh orang lain sebab, orang lainpun memiliki ruang batiniah itu.

Atas dasar ini, banyak para ahli teologis (ilmu ketuhanan) berpendapat bahwa semua agama sebenarnya sama saja. Hanya dalam praktek (implementasi) para penganutnya yang berbeda namun sesungguhnya bermuara pada satu yakni Tuhan. Tuhan yang aku, kamu dan kalian pahami sesungguhnya sama saja hanya berbeda pada persoalan nama atau persepsi.

Tapi oleh ahli teologis lain menampik pendapat demikian. Agama yang benar hanyalah satu, yang lainnya salah. Juga tidak boleh benar semua. Jika semua agama sama dan benar maka manusia akan bebas berpindah-pindah agama padahal setiap agama melarang itu. Malah, jika saya disuruh pilih maka saya akan memilih agama yang ibadahnya kurang intens agar saya lebih banyak bersantai.

Terkait doa yang saya mohonkan dan sahabat saya mohonkan, maka biarlah Tuhan yang satu itu, yang menilai. Tuhan maha Tahu, Maha bijaksana dan Maha adil dalam segala urusan. Kami tetap saling berdoa dan urusan terkabul atau tidaknya itu bukan otoritas kami, melainkan Tuhan yang maha adil dalam segala pertimbangannya.

Pluralisme?

Terminologi ini cukup menjadi diskursus (wacana) dikalangan umat islam. Jika kita mau jujur, istilah pluralisme bukanlah berasal dari tradisi keilmuan islam. Istilah ini merupakan kata asing yang di impor kedalam tradisi inteletual islam. Bukan karena asing sehingga kita tidak menerima melainkan harus dijadikan sebagaia materi ilmu baru yang harus di cerna oleh kaum muslimin. Apalagi untuk menakutinya seperti yang dilakukan oleh banyak kalangan islam sehingga segala isme-isme (paham) asing diluar tradisi islam harus disingkirkan.

Pluralisme bisa di artikan sebagai penghargaan (toleransi) pada perbedaan.  Pluralisme, kini seolah menjadi istilah yang ampuh untuk mendamaikan segala perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dia biarat pahlawan untuk mengatasi kecurigaan hingga yang berujung pada konflik fisik. Namun karena merasa sebagai pahlawanlah maka dia dibawa kemana saja hingga dalam ranah aqidah (Tuhan). Nah, disinilah masalahnya.

Selain ‘doa’ yang dipanjatkan pada ‘Tuhan siapa’ dalam ceritra di atas, juga terdapat realitas sosial yang cukup menarik untuk dicermati. Kedua ini dapat menjelaskan istilah pluralisme atau toleransi agar dapat ditempakan dalam porsinya juga tidak kebablasan menerapkannya. Atau dalam kasus seperti apa toleransi itu didapat digunakan.

Peristiwa yang saya maksudkan ketika dalam prosesi seremonial pasca kematian agama tertentu. Dengan kostum yang kenakan sebagai ciri khas agama itu hadir pula penganut agama lain dengan ke khasan agamanya. Kebetulan seremonial itu terjadi dalam lingkungan masyarakat yang tidak homogen agamanya. Sehingga untuk mewujudkan rasa toleransi itu, maka tetangga yang lainpun ikut dalam prosesi agama tetangganya yang sesungguhnya berbeda agama.

Banyak yang berpersepsi bahwa kehadiran penganut agama lain dalam prosesi ‘ibadah’ agama lain yang berbeda, secara tidak langsung membenarkan agama itu. Namun pendapat lain mengatakan, perilaku yang ditunjukan dalam peristiwa di atas adalah sebagai wujud toleransi dalam kehidupan bermasyarakat sebagaiamana diperintahkan oleh agama apapun.

Mungkin saya bukanlah orang yang tepat untuk mendamaikan perihal ini. Saya hanya akan coba memaparkan tentang makna pluralisme itu agar kita dapat menggunakannya pada konteksnya. Selebihnya silahkan berpikir dan menilai, mana yang benar termasuk pemaparan saya.

Pluralisme (toleransi) untuk mewujudkannya tidak mesti harus terlibat dalam apa yang dilakukan oleh orang yang berbeda dengan kita. Misalnya dalam kasusu di atas, tidak mesti menghadiri seremonialnya maka kita dikatakan pluralisme. Duduk, diam serta tidak mengganggu  seremonial dan segala prosesinya pun bisa dikatakan toleransi. Malah jika tidak dipahami secara sewajarnya maka bisa terjebak dalam prilaku sirik. Maka perlu kiranya dipahami terlebih dahulu apa sebenarnya hekekat pluralism itu sendiri, agar tidak tejadi kebablasan dalam mempraktekannya.

Sesungguhnya dapat dibedakan menjadi dua, yakni pluralisme teologis dan sosiologis. Pluralisme teologis dimaksudnya agar kita mengakui kebenaran kayakinan agama yang kita anut serta tetap menghargai keberadaan agama lain tapi tidak untuk menggapnya benar. Sedang pluralisme yang kedua, dimaksudkan pada penghargaan dalam perbedaan sosial (pendapat) selain menyangkut aqidah agama. Agama tidak boleh dimungkinkan untuk di akui secara keseluruhan kebenarannya sedangkan perbedaan sosial lainnya bisa saja memungkinkan perbedaan itu benar semua.

Jadi Tuhanku dan Tuhanmu kah yang akan mengabulkan doamu ? Silahkan berpikir, smoga kita semua diberi petunjuk. Amin.

~Makassar, masih di mabesku saat hujan turun, 15 Februari 2013

Komentar