Seragam yang ternodai

Rintikan hujan tidak menghalangi aktivitas pria itu. Kelihatannya sangat bertanggung jawab. Melayani setiap orang yang lewat di depannya. Tak ada keluh kesah yang terucap dari bibirnya. Begitu juga dengan hatinya, dia sangat tulus tanpa ada besitan keluh dan kesah sedikitpun. Senyum kepada semua orang yang mendekatinya adalah bagian dari tugasnya sembari bertanya ihwal kebutuhan orang-orang itu.

Titik air tampaknya masih menempel di jeket yang ku kenakan. Musim penghujan belumlah sampai di ujungnnya. Terus mengguyur kotaku yang semakin panas dikala hujan tak mengguyur. Seperti kebanyakan orang lain, Aku pun melewati pria paruh baya itu. Dia memberi senyum sambil bertanya apa yang bisa dia bantu. Ku utarakan keinginanku siang itu. Dengan penuh semangat, dia menjelaskan dan terakhir dia menunjukan sebuah pojok ruangan.

Di pojok ruangan itu, terdapat orang-orang yang berseragam seperti dia. “Terimakasih” kata itu terucap sebelum akhirnya aku beranjak darinya. Kakipun terayunkan mengarah pada orang-orang yang berseragam sama seperti lelaki yang baik hati itu. Sampailah di pojok ruang itu.

Seperti yang dilakukan oleh pria tadi. Mereka bertanya tentang apa yang Aku inginkan. Setelah mereka mendengar beberapa kalimat yang terlontar, mereka segera paham. Segeralah mereka melaksanakannya. Saat itu, aku seperti seorang raja yang di layani oleh para pengawal.

“Memang sudah tugas dan kewajibannya maka mereka akan segera melaksanakannya. Tapi asalkan kita juga menghargai mereka” gumamku dalam hati.

                                                                              ***
Tampaknya bercak-bercak hujan belumlah beranjak dari jeketku. Maklum saja, mentari tidak garang saat itu. Dia tampak malu untuk menampakan keindahan tubuhnya. Atau bisa jadi awan hitam terlalu egois  untuk menahan senyum mentari dengan tubuhnya yang pekat. Mungkin, sang awan ingin mengimbangi kekuatan mentari untuk menguasai bumi.

Lompatan-lompatan air dipermukaan aspal mulai enggan menari-nari dan sudah mulai ada tanda untuk berakhir. Namun, Aku belum mau meninggalkan teras ruangan yang di dalamnya ada pria yang baik itu. Tak ada aral melintang tiba-tiba seorang lelaki menghampiriku dengan pertanyaan. Dalam memoriku, tidak pernah ada sosok itu dalam sejarah hidupku. Aku tidak mengenalnya.

Tidak jelas apa yang ditanyakannya. Karena itulah,  Aku balas dengan pertanyaan “apa pak?”. Ternyata lelaki yang baru Aku kenal ini sedang melakukan apa yang aku lakukan juga. Dia mengeluh, karena ada kejanggalan kejadian yang di dalam ruangan tadi. Pikirku, mungkin lelaki ini salah. Tapi setelah dia menjelaskan secara terperinci perihal yang di alaminya, otakku mulai berputar hingga 180 derajat.

Persepsiku tiba-tiba berubah terhadap beberapa orang bapak yang berseragam sama dalam ruangan tadi. Tapi tidak untuk pria yang memberiku senyum pertama. Ku putuskan, untuk kembali kedalam ruangan. Di pojok ruangan lain, terdapat beberapa pria yang berseragam sama seperti pria-pria di pojok sebelah. Segerah saya menuju pojok baru itu.

Kecurigaanku mulain menjadi-jadi apalagi setelah mendengar cerita sahabat baruku di teras tadi. Aku memberanikan diri untuk melakukan investigasi rahasian pada pria-pria yang berseragam ini. Dari informasi yang ku dapatkan, ternyata lelaki di teras ruangan tadi benar. Segera Aku amini.

Sebelumnya, Aku tak percaya meskipun kejadian seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Bahkan banyak kejadian lebih besar yang dilakukan oleh oknum-oknum yang kedudukannya lebih tinggi dari beberapa pria berseragam ini sehingga membuat nama mereka tercoreng. Padahal mereka sungguh baik dan memang tugasnya untuk kebaikan. Tapi akhirnya aku dan sahabat baruku terpaksa menyetir pirikiran ke arah sikap ketidak percayaan.

“Pak kira-kira harga biaya semuanya berapa?” Kataku pada salah satu dari mereka . Saya menunggunya dengan sabar saat melakukan kalkulasi di depan komputer kerjanya. “Sekitar mendekati Rp. 900.000,- siapkan saja uang sejumlah ini“.

“Oh, gitu ya pak? soalnya kemarin ketika saya bertanya pada teman bapak yang lain di pojok sana, biayanya berbeda pak. Ini sudah lumayan turun yang sebelumnya berselisih hampir Rp. 200.000-an” Aku memperjelas. Kini Aku tidak lagi ragu dan telah menjadi yakin. Kejanggalan yang saya sangkakan ternyata benar adanya. Ada ketidakberesan yang telah menjadi lumrah dilakukan.

“Itu calo dek’ atau ada juga oknum yang mencari untung dari proses seperti ini, makanya kamu harus hati-hati. Kalau mau urus yang begini nanti hubungi saja nomorku. Ini nomorku” Pria baik ini membubuhkan nomornya di atas kertas peganganku.

Sungguh ironis. Sebuah tempat mencari dan memperjuangkan kebenaran justru begini kondisinya. Ketidakwajaran menjadi biasa dan terbiasa hingga menjadi sebuah kewajaran. Hal yang tidak benar, telah menjadi kebiasaan sehingga dibenarkan. Inilah hukum alam yang terjadi.

Aku mengenal mereka begitu berwibawa dengan baju kebesarannya. Baju yang melambangkan tugas suci mereka memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta memberantas ketidak adilan dan ketidak benaran. Meskipun berhari-hari baju itu dikenakan tapi bagiku baju mereka tetap suci dan bersih.Tapi apa yang terjadi dirungan itu, telah meruntuhkan bangunan keyakinanku. Ada oknum di antara mereka yang tak mampu menjaga kesucian seragam yang dikenakan. Sehingga tak jarang orang-orang berpersepsi buruk terhadap mereka semua, secara keseluruhan.  Jadilah seragam suci itu ternodai.

~Makassar, 8 Maret 2013

Komentar