Belajar cinta pada mentari

Hari yang indah. Tatkala senyum mentari menembus jendela kamar kosku. Tidak seperti biasa, aku terlampau tersadar dari tidur singkat lebih cepat di banding malam-malam biasa. Tapi sungguh indah pagi ini, meskipun semalam harus ku korbankan energy untuk menahan bibir kelopak mata agar tidak saling bertemu hingga aku harus tertidur.

Kecerianku bagai seorang kekasih yang tengah menanti kedatangan kekasih yang dicintainya. Tapi sekarang, aku bukanlah kekasih khusus untuk seorang hawa. Melainkan mencoba adil memberi cinta dan kasih sayang kepada siapa saja. Tugasku hanya menebarkan cinta dan setelah itu selesai. Menerima cinta kembali dari siapa saja yang telah ku tebarkan cinta pada mereka, itu bukan tujuan. Ini adalah sebenar-benarnya cinta, memberi tanpa harus berharap untuk menerima.

Inilah alasan kenapa hariku saat ini begitu indah. Ketenangan hati usai menghadap sang ilahi dalam seper lima akhir malam, dengan merendahkan diri sembari mengakui ketakberdayaan di hadapan_Nya. Terkombinasi dengan kekuatan cinta sang surya yang menyapa dan mencerahkan suasana pagi. Cintaku benar-benar terinspirasi padanya. Bagai kasih ibu kepada anak-anaknya. Memberi dengan setulus hati tanpa mengharap balasan. “biarlah Tuhan membalas dengan cintanya, surga” fitrah semua ibu berkata.

Ingatkah, ketika sang pencipta saya, kamu, mentari dan kita semua dalam alam semesta memerintahkan kita untuk iqra (baca)? Dia begitu hebat dan cermat dalam segala pertimbangan dan Maha tau atas segala sesuatu. Yang pertama dia menyuruh manusia (umat Muahammad SAW) untuk memahami hakekat Tuhan melalui pembacaan bentangan sabda kauniyah_Nya. Bentangan sabadanya begitu luas yang tak mampu ditangkap oleh alat pengatahuan manusia secara keseluruhan.  Mungkin aku sekarang tengah melakukan dan memahami ayat-ayat kauniah itu. Membaca alam dan isinya serta segala yang terjadi di dalamnya.

Suatu kisah yang menakjubkan dari seorang Newton, penemu gaya gravitasi bumi. Dia membaca sabda kauniyah Tuhan tentang sebuah benda yang jatuh. “kenapa benda harus bergerak alamiah ke bawa? Kenapa tidak ke atas?” pertanyaan-pertanyaan ini terus menghujani pikirannya. Setelah melakukan pembacaan yang teliti, sampailah dia pada kesimpulan bahwa ada gaya tarik bumi yang selalu menarik benda ke perut bumi (gravitasi).
Pagi ini, aku pun melakukan apa yang dilakukan oleh Newton. Membaca senyum mentari yang menembus pori-pori kulitku hingga menghapus kesejukan embun pagi. Aku membaca betapa tulus ikhlasnya cinta yang diberikan pada semesta bumi. Dia tak pernah mengaharap sinarnya itu kembali. Dia  hanya memberi dan memberi hingga Tuhan tidak mengizinkannya lagi.

Mentari hanya mengabdikan cintanya pada sang pemilik cinta, Tuhan yang menciptakannya. Manusia atau benda apapun yang terkena hangatan senyumnya dikala fajar, bukan menjadi tujuaannya. Dia hanya mengabdi kepada Tuhannya. Karena cintanya pada kekasihnya itu.

Bagiku inilah hakikat cinta dan mencintai. Berikanlah cinta pada siapa saja bagai mentari menyinari bumi. Bagi seroang ibu dan ayah menyayangi anaknya. Tidak mengaharap pamrih dari mereka yang telah diberi cinta. Cukup mengabdikan cinta pada sang pemilik cinta. Maka tungguhlah balasan dari_Nya dengan cinta yang memuatmu damai dan indah.

~Makassar dikala fajar menyingsing, 11 April 2013

Komentar