Menulis adalah sidik jari

Di pelataran yang biasa orang-orang lewati. Aku duduk di situ bersama puluhan orang. Subjektivitas saya mengatakan: hampir seratus orang. Kami duduk menikmati mentari yang ingin menanjak lurus di atas kepala, meskipun masih sekitar dua jam lagi. Sembari duduk, melihat, mendengar serta menikmati diskusi yang yang di adakan salah satu lembaga pers nasional yang cukup terkenal di negeri ini.

Forum yang sudah mulai jarang terlihat. Dia bagaikan oase di tengah kelayuan budaya intelektual “kaum intelektual” di kampus. Pembiacaraan saat itu perihal budaya baca dan tulis yang harus perlu dimiliki oleh siapa saja. Apalagi hari itu, tepat tanggal 23 April yang kalau tidak salah sebagai hari buku internasional.

Tulis

Sebenarnya pembicaraannya lebih ke bagaimana membudayakan menulis dan seputaran karya sastra. Salah seorang pembicara bertutur: cara menulis adalah sidik jari. Sidik jari setiap manusia berbeda begitupun dengan gaya tulisan setiap orang. Maksudnya tak perlu mengkuti secara total gaya tulisan orang lain meskipun seorang itu adalah orang yang anda kagumi. Karena setiap manusia punya ke unikan tersendiri dalam berkreasi termasuk mengkreasikan gaya tulisannya.

Salah seorang nara sumber juga menjelaskan hal yang senada. Bahwa gaya tulisan adalah ke khasan yang dimiliki oleh setiap orang. Mungkin seorang sastrawan besar Indonesia Goenawan Muahammad, penulis yang hebat dan kita ‘fans’ pada tulisan-tulisannya. Tapi tidak berarti segala segala gaya dan karakter tulisannya harus di ikuti.

Kita cukup menggali apa yang ada dalam diri kita. “Menulislah sebanyak-banyaknya dan biarkan gaya menulis itu menampakan dirinya” demikian salah seorang pembicara. Memang salah satu kendala orang dalam menulis adalah takut untuk memulai atau berpersepsi gaya tulisannya tidak bagus. Sehingga tak jarang memaksakan diri untuk mengikuti gaya tulisan orang-orang yang sudah lihai dalam menulis. Padahal tidak harus seperti itu.

Karenanya menulislah apa yang bisa ditulis. Objek apa aja yang pernah singgah dalam indera, pikiran atau hatimu maka keluarkan dia dalam bentuk coretan dalam kertas. Tentang peristiwa yang telah terjadi entah dulu maupun yang barusan terjadi, tentang peristiwa sekarang maupun tentang peristiwa yang akan terjadi yang kau ciptakan dalam imajinasimu. Banyak hal yang kecil yang melintas dalam kehidupan yang jarang diperhatikan oleh orang namun sesungguhnya sangat bermakna, penting untuk digali dan di hadirkan dalam tulisan.

Dan tak lupa salah satu penunjangnya adalah membaca. Membaca jangan hanya di artikan secara sempit. Bukan hanya memindahkan makna dalam teks-teks ke pikiran. Lebih dari itu, membaca adalah proses memaknai segala sesuatu yang bisa di maknai. Bacalah segala persitiwa yang terjadi dalamkehdiupan. Toh, tulisan-tulisan yang ada sesungguhnya dari makna-makna yang tersirat dalam proses kehidupan.

Maka Menulis, menulis dan menulislah hingga gaya tulisan itu menemukanmu, karena gayamu adalah sidik jarimu.

~Makassar, 27 April 2013

Komentar