Mantap, katanya.

Bermula dari sebuah janji. Di masjid kami membuat janji dan akan bermu kembali di masjid yang sama. Aku tunggu tapi tak kunjung muncul, hingga satu jam kemudian dia tetap belum menampakan dirinya. Padahal saat itu adalah waktu yang telah kami siapkan untuk bertemu.

Tak seperti biasanya. Jika kami membuat janji maka sebisa mungkin akan kami tepati. Tapi tidak untuk malam itu. Yakinku, pasti ada halangan yang sangat sehingga kami tak bertemu di tempat itu, masjid. “Mungkin dia lupa atau ada halangan lain yang tak bisa dihindarinya” pikirku.

Putus asa belum datang menghampiriku. Dia sengaja ku usir sejauh mungkin dalam hidupku. “Esok malam saja aku akan datang ketempat ini” itu komitmenku.

Malam semakin menampakan kegarangannya. Dia gelap dan sunyi hingga senyap. Hanya nyanyian-nyanyian alam serta bintang-bintang yang menghiasinya. Waktu terus berputar, fajarpun menjemput malam. Pekatnya malam menjadi semakin buram hingga hilang tertelan oleh mentari yang menyingsing.
ilustri gambar, dari google

Akupun terjaga dari tidur semalam. Kembali beraktifitas di siang hari. Begitulah sebagian besar manusia yang menjadikan siang sebagai moment menghabiskan porsi waktunya. Biasanya sore akan menjadi lampu kuning bahwa aktvitas siang akan segra harus di tunda. Dan senja menjadi lampu merah sebagai tanda aktivitas untuk di hentikan untuk beberapa waktu.

Akhirnya langit kembali gelap. Segera teringat tentang sebuah janji untuk bertemu di tempat yang menurut kami sakral, masjid. Aku akan berusaha mewujudkan komitmen yang telah saya bangun untuk bertemu diwaktu ini.

Usai shalat magrib, benar saja aku melihatnya. Dia memberiku isyarat, aku pun sebaliknya. Pertemuan tak terelakan lagi. Akhirnya pertemuan kami itu berlanjut ke rumahnya. Dia mengajakku untuk ke rumahnya.

Entah apa yang dia bicarakan dengan orang di dalam rumah di balik pintu itu. Tapi terakhir kalimat yang ku dengar:  “Ada temanku”. Dia menyapa istrinya di dalam rumah. “Waow, dia sudah beristri. Luar biasa”. Jarang-jarang pemuda dan pemudi mengambil keputusan untuk menjalin hubungan cinta yang sah dalam ikatan suci dalam mahligai keluarga. Mereka termasuk orang yang jarang itu.

“Han, Buatkan kopi” dia memanggil dengan nama yang romantis skali aku mendengarnya. “iya…” istrinya menjawab perintah sang suami. Aku melihat cinta dari cara mereka bertutur. Aku jadi irih dan ingin seperti yang mereka lakukan. “Oh, Tuhan kabulkanlah. Amin” ke inginanku dalam hati.

Kami berdiskusi satu sama lain. Akhirnya segelas kopi datang ditemani sepiring pisang goreng yang masih panas. Istrinya membawakan dengan sikap yang sangat islami. Namun aku harus sendiri menikmati segelas kopinya. Istrinya ternyata tau bahwa suaminya saat itu harus menikmati segelas air putih saja. Mereka sudah saling mengerti, sungguh syahdu. Oh, Tuhan aku ingin seperti itu.

Waktulah yang harus membatasi pertemuan dan perbincangan kami malam itu. Waktu shalat isya sudah tiba, suara azanlah yang membuat kami harus mengakhirinya. Segeralah kami menuju masjid. Dalam perjalan, aku bertanya padanya perihal pernikahan yang dilakukan lebih cepat dibanding kebanyakan orang. Tak banyak berkomentar dengan banyak penjelasan. Karena dia paham bahwa saya sudah mengerti: nikah adalah perintah Tuhan sehingga akan mendapat ganjaran pahala. Dia hanya bertutur  “nikah cepat itu mantap”.

~Makassar, 9 Mei 2013

Komentar