Sedikit celoteh; ujian nasional

Lihat itu. Mereka dalam keadaan yang penuh dengan rasa penasaran. Sepertinya ada kabar yang mereka ingin ketahui. Pastinya hanya ada dua: kabar baik dan buruk.

Seperti inilah rasa penasaran yang sama menyerangku dahulu. Hari itu adalah hari yang sangat di tunggu-tunggu terutama oleh siswa dan siswi sekolah (baca: SMA). Kurang lebih sebulan, kami menunggu tentang hasil usaha dan perjuangan cukup melelahkan. Bagaiamana tidak? selama tiga tahun kami berproses dalam lembaga sekolah formal (baca: SMA). Dan hari yang mendebarkan itu akan menjadi hari bersejarah karena akan menentukan kesuksesan kami selama tiga tahun. Sungguh tidak adil.

Yah, sangat tidak adil. Hari itu adalah adalah hari penilaian ujian yang kami lakukan selama beberapa hari saja. Dan lucunya beberapa hari itu mewakili bahkan melupakan proses-proses yang terjadi selama tiga tahun itu. Di hari itulah kami akan ditentukan, tentang berhak atau tidak mendapat secarik kertas yang akan digunakan sebagai syarat menempuh jenjang pendidikan formal berikutnya. Secarik kertas itu bernama ijazah.

Ha? Yah, secarik kertas itulah reprentasi kualitas kami yang ditetapkan oleh Negara. Negara menggunakan kertas itu untuk mengukur kemampuan kami. Menututnya kami yang tidak mendapatkan kertas itu adalah kami yang belum bisa menempuh ke jenjang pendidikan formal selanjutnya. Karena menurutnya kami masih “bodoh” untuk menempuh kejenjang berikutnya. Sungguh memprihatinkan kami.

Pendidikan yang ironis

Sebelum dan sesudah melaksanakan ujian nasional kami masih dihantui oleh “ketakutan”. Kami di kekang oleh rasa itu. Rasa yang muncul karena proses pendidikan (baca: ujian nasional) yang diwajibkan oleh Negara itu (baca: ujian nasional). Padahal pendidikan harusnya menjadi tempat yang sangat indah dan membahagiakan. Tapi yang terjadi justru terbalik. Sungguh ironis.

Waktu menulis artikel ini tepat dengan hari pengumuman ujian nasional siswa SMA. Rasa yang sulit untuk digambarkan menjelang di umumkan hasil itu. Tapi pada akhirnya rasa penasaran itu lenyap seketika dengan di umumkan hasilnya. Bagi yang lulus perasaan sangat bahagia dan sebaliknya yang tidak lulus cukup merasakan kesedihan yang sangat.

Yang tidak lulus, perjuangan bertahun-tahun selama ini harus berakhir dengan kesedihan. Dalam pikiran mereka perjuangan sungguh tidak ada pengharagaan Negara atas proses yang mereka jalani itu. Maka tidak mengherankan, banyak yang dilanda kesedihan hingga depresi bahkan lebih ekstrim lagi mengakhiri kesedihan itu dengan sengaja mengakhiri hidup (bunuh diri). Memprihatinkan. Pendidikan yang harusnya membahagiakan justru berakhir dengan tragedi seperti ini.
Semoga Negara menyadari hal ini.

~Makassar, 25 Mei 2013

Komentar