Ulama dan legitimasi

Akhir-akhir ini Indonesia kembali di kejutkan dengan konflik sosial. Konflik semacam ini sebenarnya sudah sering terjadi di era reformasi, pasca tumbangnnya orde baru. Berbagai kelompok mengaktualkan identitasnya masing masing. Tak jarang kemudian muncul friksi krena kepentingan kelompok lain merasa terusik.

Inilah yang terjadi pada kasus konflik keyakinan. Dalam islam terdapat dua mahzab besar antara sunni dan syiah (dalam banyak ulama tidak mengakui syiah bagian dari islam). Dalam tataran teologis, kedua mahzab ini memiliki perbedaan, meskipun Tuhan dan nabi terakhir masih bersepakat. Tapi dalam tulisan ini tidak akan meluas untuk membicarakan perbedaan itu.

Yang menarik adalah terkait legitimasi ulama. Dalam sebuah diskusi publik yang diadakan untuk menjembatani konflik ini, dihadirkan berbagai pembicara dari berbagaia kalangan temasuk perwakilan dari pihak yang berkonflik. Ada yang menarik untuk di telitik, dimana ada pergesaran legitimasi terhadap ulama.

Dahulu ulama merupakan tokoh sentral dalam masyarakat yang sangat di hargai. Mereka memiliki legitimasi religius, moral bahkan kultur untuk menjadi tokoh publik. Mereka menyebarkan ilmu dan kebaikan dalam masyarakat. Tidak hanya terbatas pada retorika, melainkan pada bagaiamana ilmu dan kebaikan itu melekat dalam aktivitas keseharian mereka.

Selain itu, tradisi hirarki-patriarki memegang andil dalam perilaku kebudayaan ketimuran kita. Hubungan patron clien ini menjadi tradisi yang telah mengakar sehingga ulama tak jarang menjadi rujukan dalam menyelsaikan permasalah sosial yang ada. Dan ini berlangsung cukup lama bahkan sampai sekarang tradisi semacam ini masih selalu ditemui.

Namun dalam diskusi itu, kultur yang demikian secara perlahan mulai pudar terutama di kalangan masyarakat kelas menengah yang terdidik. Dalam merespon permasalahan sosial, ulama sebagai sumber legitimasi mulai dicampakan. Kalangan masyarakat terdidik ini sudah mulai rasional dalam melihat apa yang ada sehingga legitimasi ilmu pengetahuan menjadi anti tesa dari peran ulama. Maka jika dahulu pendapat ulama sami’na wa ta’na, maka hari ini kadang tidak demikian lagi.

Kelemahan ulama

Ada yang mendikotomikan antara ilmu agama (akhirat) dan ilmu dunia. Banyak ulama yang menganjurkan untuk lebih memprioritaskan ilmu agama dibanding ilmu dunia. Padahal hemat saya, keduanya tidak perlu di dikotomikan. Karena keduanya adalah ilmu dan ilmu ‘dunia’ bisa di jadikan ilmu ‘akhirat’ jika di niatkan untuk akhirat. bukankah dunia adalah sarana untuk akhirat?

Segala sesuatu di dunia adalah dipersembahkan untuk akhirat. Segala aktivitas di dunia jika diniatkan untuk akhirat maka akan berubah menjadi kegiatan ke akhiratan. Begitu pula dengan ilmu dunia, akan bernilai ibadah (akhirat) jika digunakan untuk kemasalahatan. Bahkan ilmu dunia sangat penting untuk mengatasi permasalahan dunia. Karena jika dunia tidak dapat di atasi maka kita bisa jadi kalah dalam akhirat. Jika konsep ekonomi tidak dapat dijalankan maka jatulah dalam jurang kemiskinan. Dan kemiskinan sangat dekat dengan kekafiran. Lihatlah karena miskin, maka pelanggaran norma dan kemanusiaan sering terjadi dan kalah lah dari akhirat.

Selain itu banyak ulama yang masih resisten dengan dinamika zaman. Mereka mengurung diri dari pengaruh perkembangan zaman dengan alasan agar islam tetap autentik. Padahal islam lahir bukan dalam ruang hampa melainkan mengalami pergulatan zaman. Maka sangat perlu islam mampu berdialog dengan perubahan ini. Harus ada keterbukaan terhadap perubahan. Jika tidak, islam hanyalah akan menjadi berlian yang terbungkus rapi dalam lemari yang tak dapat menakjubkan orang di sekitarnya.  Keterbukaan ini pula berdampak pada luasnya perspektif yang berkonsekuensi pada kebijaksanaan dalam melihat sesuatu.

~Makassar, 18 September 2013

Komentar