Stigma itu masih ada

Mata semakin sayu. Di jelang sepertiga akhir malam, ruang itu masih saja ramai. Mereka sedang saling berdiskusi tentang sebuah tema. Lebih khususnya lagi berkisar pada keadilan. Membahas keadilan memang tak akan habis-habisnya. Tak jarang banyak yang memiliki kacamata (baca: ideologi) sendiri dalam melihatnya. Sehingga dalam meperjuangkannya pun kadang berbeda.

Perjuangan dengan kata-kata hingga perjuangan fisik. Meskipun kadang perjuangan itu harus di pertanyakan, apakah memang sudah pada jalur yang benar atau tidak. Atau apakah hasil akhir dari perjuangan itu dapat menghasilkan keadilah yang benar-benar adil? entahlah.

Keadilan di dunia tidaklah hakiki. Keadilan yang sebenarnya hanyalah di kehidupan setelah kehidupan di dunia (akhirat). Tuhanlah yang berhak dan memiliki kemampuan melihat sisi keadilan secara sempurnah. Selama kita di dunia, maka keadilan kita hanya bersifat parsial. Tapi tidak kemudian, kita duduk pasrah menerima nasib melainkan tetap harus memperjuangkannya (baca: keadilan).

Kurang lebih di mulai dari pukul satu dini hari hingga azan shubu berkumandang. Kebetulan saya di percayakan untuk menjadi pembicara dalam diskusi saat itu. Berbagai argument di lontarkan dalam forum itu. Masing-masing memiliki kacamata yang sendiri dalam melihat keadilan. Bagiku, inilah yang menjadi keniscayaan di dunia. Perbedaan selalu ada, bahwa tidak ada kesepahaman tentang kacamata apa yang tepat untuk melihat keadilan.

Diskusi akhirnya sampai pada bagaiamana kacamata kapitalisme dalam melihat keadilan. Dalam konteks ke Indonesiaan kita, kapitalisme begitu bercokol pada salah satu orde kekuasaan, yakni orde baru. Segala musuh kapitalisme di era ini begitu di singkirkan, misalnya saja paham sosialis-komunisme yang saat itu diterapkan oleh negara China. Sehingga segala hal yang mengarah ke ideologi ini akan mendapat perlakuan yang diskriminasi dari rezim orde baru.

Kebetulan perantau (diaspora) China cukup banyak di Indonesia. Tak ayal, hampir semuanya menjadi korban kekejaman orde baru. Mereka distigmakan sebagai orang yang berbahaya bagi ke langgengan rezim. Negara asal mereka, China sebagai penganut setia ideologi komunis yang secara tegas sangat anti kapitalisme, milik orde baru. Maka di kondisikanlah agar mereka mendapat perlakukan diskriminatif di masyarakat. Bukan hanya oleh penguasa tapi juga masyarakat sipil di Indonesia pun melakukan hal demikian. Dan ternyata efek kebijakan yang diskriminatif itu di rasakan hingga sekarang, meskipun zaman bukan lagi orde baru.

Hal itu terlihat pada forum kami malam itu. Sebelum peserta diskusi mengajukan pertanyaannya, terlebih dahulu saya menganjurkannya untuk menyebut nama dan asal daerah (suku). Maka bertanyalah seorang peserta yang masih keturunan/berasalah dari etnis tionghoa. Setelah dia mengucapkan asal etnisnya, beberapa peserta diskusi lain mengeluarkan ekspresi suara yang menyindir. Segera saya ambil alih forum untuk menetralisir agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.

Berceritalah saat itu tentang sekelumit kisah diksriminasi orde baru. Selain hampir semua masyarakat etnis tionghoa dan budayanya, juga terhadap buku-buku atau sejarah yang berkaitan dengan mereka. Banyak sejarah yang menceritakan tentang kisah perjuangan seorang maupun kelompok tionghoa di Indonesia. Namun orde baru sengaja menghapusnya dari sejarah. Sebenarnya diskriminasi bukan hanya pada etnis tionghoa, melainkan juga pada beberapa kelompok ‘islam politik’.

Sungguh pengaruh orde baru itu sangat terasa. Peserta diskusi baru menyadarinya, betapa banyak  ketidak adilan di era orde baru di Indonesia. Akhirnya kami menyepakati bahwa kacamata (ideologi) orde baru yang kapitalisme harus di singkirkan. Hal positif di ambil dan negaratif harus dilawan.

Malam semakin larut. Jangkrik semakin  mendesis. Ayam berkokok bersahutan. Anjing terus menggonggong. Inilah nyanyian alam malam itu. Sungguh indah, apalagi di isi dengan kegiatan intelelektual seperti ini. Karena ilmu (hikmah) adalalah harta yang hilang dan jika kau mendapatkannya, Maka ambillah. Demikian kurang lebih kata nabi.

Sebelum akhirnya forum di tutup karena sebentar lagi azan akan segera berkumandang. Sesuai dengan janji, saya akan memperkenalkan satu kacamata yang ideal untuk melihat keadilan. Tapi terlebih dahulu saya cukupkan pembahasan tentang kelemahan-kelemahan kacamata yang digunakan oleh kebanyakan orang termasuk para wakil rakyat kita hari ini. Maka saya tawarkan islam sebagaia agama rahmatan lil alamin sebagai kacamata yang tepat. Apalagi islam tidak pernah mengenal diskriminasi sesama manusia. Perbedaan manusia hanya terletak pada kemanusiaannya. Meskipun banyak perdebatan perihal tafsiran islam versi mana yang benar, namun saat ini pancasila bagiku adalah nilai islam yang di ‘indonesiakan’.

~Makassar, 18 Oktober 2013

Komentar