Mushollah dan kehancuran peradaban

Masih seperti biasanya. Orang-orang lalu-lalang di dalam salah satu pusat perbelanjaan (mol) di Makassar. Senja di ufuk barat telah menampakan wajahnya. Artinya bagi umat muslim, waktu shalat ashar akan segera usai dan magrib akan segra masuk.

Mekipun sebagian besar orang masih sibuk dengan aktivitasnya tapi cukup banyak juga sudah meninggalkan aktivitasnya sejenak. Kemudian bergerak menjuju arah yang sama. Arah itu adalah mushallah yang masih terdapat di dalam mol, untuk menunaikan ibadah shalat magrib. Dalam ajaran islam, shalat ‘lima waktu’ adalah kewajiban bagi setiap manusia yang mengaku islam.

Saya adalah salah-satu di antara kerumunan orang-orang yang akan melaksanakan shalat itu. Kami berdesak-desakan agar bisa shalat magrib. Bagaimana tidak? Jalan menuju mushollah cukup sempit. Apalagi letaknya pun di sudut-sudut gedung sehingga agak sukar ditemukan.

Maka sampailah di dalam mushollah. Seolah berada di atas pemanggangan. Suhu cukup panas, karena gas karbon dioksida cukup banyak mengudara. Sedang oksigen menjadi rebutan orang-orang yang berda di dalam mushollah. Fasilitas yang di siapkan oleh pihak mol pun sangat tidak layak.

Bagaimana mungkin dalam ruangan yang sempit itu hanya disediakan kipas angin? Itupun dari sedikit kipas angin tersebut, tidak semuanya bisa digunakan (rusak). Padahal sirkulasi udara bisa di katakan tidak ada. Sehingga kipas angin hanya akan memutar-mutar udara dalam ruangan saja. Sangat berbeda dengan ruangan lain terutama ruang-ruang yang digunakan lokasi jual beli. Dimana kita akan mendapatkan suasana yang dingin dan nyaman. Sangat berbeda dengan mushollah.

Entah apa alasan pihak mol terkait suasa ini. Usai shalat beberapa orang menghujat pemilik mol tentang kondisi dalam mushollah. “Masa tempat ibadah seperti ini, tidak di fasilitasi dengan baik? Sudah panas karena tidak ada pendingin ruangan (AC), sempit lagi. Astagfirullah…” Ujar seorang bapak yang baru saja usai melaksakan shalat magrib.

Kapitalistik

Dunia kita telah terjerumus dalam logika yang kapitalistik. Logika yang menjadikan ke untungan dunia (uang) sebagai prioritas utama. Demi uang mereka melakukan apa saja meskipun nilai-nilai kemanusiaan atau ke Tuhanan harus dikesampingkan. Demikian juga pada bagaiamana kosntruksi bangunan pusat perbelanjaan dalam kasus ini.

‘Bangunan sekuler’. Istilah yang pernah di gunakan oleh seorang budayawan. Sekuler merupakan upaya ingin tidak mengesampingkan agama dengan aktivitas ke duniaan. Kalau kegiatan dunia, yah dunia. Agama berdiam diri saja dan cukup terlibat dalam hubungan yang lebih individual-vertikal saja dengan Tuhan. Tidak usah di libatkan dalam urusan perdagangan-perdagangan seperti ini. Dengan kata lain kapitalistik juga senada dengan sekularis atau keudanya bisa saling melengkapi.

Konsep inilah yang tengah tersemat pada pusat perbelanjaan dalam pembicaraan dalam tulisan ini. Padahal umat muslim di kota ini (Makassar) termasuk pengunjung mol mendominasi tapi malah tidak terpedulikan. Pemilik mol lebih mengutamakan keuntungan dunia (uang) tanpa menyeimbangkan dengan kepentingan yang lebih tinggi, yakni ketuhanan yang kemudian terjewantahkan dalam nilai-nilai kemanusiaan.

Bahwa keberadaan mushollah di sudut-sudut atau lorong-lorong mol seolah Tuhan hanyalah sesuatu yang kecil. Bahwa suhu yang panas karena fasilitas yang tidak memadai sedang di ruang-ruang bisnis lain dalam mol, begitu nyaman juga adalah bukti jika hasrat pemburuan ke untungan menjadi prioritas di banding nilai ke Tuhanan. Kerakusan untuk hanya mencari ke duniaan inilah yang mengarahkan pada pemberlakuan segala cara meskipun kemanusiaan tergadaikan. Kehancuran peradaban akan bermula dari cara seperti ini.

~Makassar, 01:33, 31 Desember 2013

Komentar