Tekhnologi tembus pandang. Siapkah kita?

Tiba-tiba aku terperangah ketika membaca sebuah artikel. Artikel itu menuliskan tentang sebuah penemuan tekhnologi baru. Tekhnologi ‘tembus pandang’ yang dengan sensor gambarnya sehingga dapat menangkap gambar, di balik dinding sekalipun. Meskipun masih dalam tahap penyempurnaan karena hasil gambarnya masih hitam putih tapi penemuan ini sangat mencengangkan bagi dunia tekhnologi kita.

Tekhnologi ini masih sementara terus di teliti oleh salah satu kampus di Austria dan perusahaan tekhnologi di Taiwan. Dan nantinya kemungkinan akan di sematkan pada tekhnologi telpon pintar (smartphone). Entah bagaiamana mekanisme kerjanya. Entahlah.
 
Tapi itulah loncatan berpikir manusia, yang kadang banyak manusia lain tidak meyakini bahkan mustahil akan ada, tetapi akhirnya sebagian manusia lain membuktikan bahwa benar-benar ada. Salah satu contohnya, dahulu banyak yang menganggap mustahil akan ada logam yang bisa terbang dengan membawa manusia ke suatu tempat, tapi akhirnya terbukti dengan di temukannya pesawat terbang.

Bermula dari Revolusi industri

Bermula dari revolusi industry di inggris yang di tandai dengan penemuan mesin uap. Secara cepat perubahan pola kehdiupan manusia berubah. Dari agraris bergerak ke industrialisasi. Tekhnologi kemudian menjadi tren baru masyarakat eropa saat itu. Selain dapat membantu aktivitas manusia tapi ibarat dua mata uang koin yang selalu punya dua sisi. Karena di satu sisi tekhnologi juga ternyata bisa di gunakan justru dapat merugikan orang lain.

Karna revolusi industri, negara-negara eropa mencari bahan baku untuk industrinya. Eropa saat itu kekurangan bahan baku yang berasal dari kekayaan alamnya. Maka bermigrasilah (berlayar) ke negara-negara yang kaya akan sumber daya alam dan salah satunya sampai ke Indonesia. Setelah diketahui Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah, maka pencariannya berubah menjadi hasrat menjajah.

Tekhnologi itu semakin lama semakin berkembang. Hasrat manusia semakin bertambah untuk mengetahui hal-hal yang baru. Apalagi ketika sejarah manusia memasuki era tekhnologi informasi. Manusia mengenal dunia syber (maya). Ditemukan pula sistem jejaring sosial dunia maya dengan hadirnya media sosial. Di antaranya yang sering digunakan adalah FB, twitter termasuk kompasiana sendiri. Bahkan untuk FB dan Twitter Indonesia salah satu pengguna terbanyak di dunia.

Dua sisi koin

Tapi seperi yang saya sebutkan sebelumnya (paragraf di atas) selalu seperti sisi koin. Media sosial memang mempermudah manusia dalam berinteraksi satu sama lain. Tidak membutuhkan lagi pertemuan fisik jika ingin membicarakan sesuatu. Tinggal buka komputer (leptop), smartphone atau yang sejenisnya kemudian saling sapa, ngobrol/ceting dan selesai. Sehingga tidak perlu lagi bertemu secara fisik. Fenomena ini sudah mewabah ke para pengguna media sosial.

Tapi jika di telisik lebih dalam, media sosial dapat merubah pola interaksi manusia. Pertemuan secara fisik yang sudah berkurang atau tidak sesering lagi berkonsekuensi mengurangi hubungan emosional di antara kedua belah pihak. Setiap orang akan lebih suka mengurung diri dan berada di depan komputer/leptop/smartphone sambil berselancar dan saling menyapa. Secara perlahan akan menjadi manusia yang individualistis di tengah masyarakat yang juga semakin tidak peduli satu sama lainnya. Semakin mengepullah individualis dan nantinya akan semakin berkurang kepekaan sosial dan berbagai dampak negatif yang menyertai lainnya.

Kata Einstein

Nah bagaimana dengan tekhnolgi ‘tembus pandang’? Dua mata koin itu akan berlaku tanpa terkecuali. Mungkin akan dapat digunakan dalam misi spionase atau yang sejenisnya. Tapi bagiamana dengan privasi yang kita miliki? Siapkah kita segala sesuatu pada tubuh kita mampu ditangkap oleh tekhnologi itu?

Dunia meniscayakan adanya etika. Meniscayakan adanya aturan yang di landasi kemanusiaan dalam hal apapun. Akhirnya seorang fisikawan yang teori-teorinya banyak mendasari penemuan-penemuan tekhnologi, Albert Einstein pernah berkata: “Ilmu tanpa agama adalah pincang dan agama tanpa ilmu adalah buta”. Mari kita renungkan dan implementasikan.

~Makassar, saat hujan turun, 17 Desember 2013

Komentar