Tidak usah banyak bicara !!! (menyentil para pemilik media)

Modernitas tidak selamanya membawa kebaikan. Memang modernitas di tandai dengan perkembangan ilmu pengetahun dan tekhnologi yang begitu pesat. Diharapkan dapat membantu segala aktivitas manusia tapi di satu sisi melahirkan dampak lain bagi kemanusiaan. Banyak hal-hal baru yang hadir dalam kehidupan tapi tak jarang juga menimbulkan reaksi yang kontra. Fenomena ini, sah-sah saja karena secara alamiah sesuatu yang baru akan selalu mendapat resistensi dari yang sudah mapan (lama).

Tapi bisa saja resistensi akan kurang terjadi bahkan kita akan terbuai dalam perubahan yang perlahan-lahan tanpa di sadari. Di sinilah kekuatan globalisasi dengan segala perangkatnya di antaranya adalah media massa. Kehadiran tekhnologi ini menghentakkan dunnia peradaban manusia, karena banyak merubah pola kehidupan serta banyak nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat mulai tergeser.

Jika berbincang tentang media massa, maka tekhnologi ini tidak bisa di lepaskan dari kepentingan. Tertuama oleh para kaum kapitalis yang selalu memburu ke untungan yang sebesar-besarnya. Maka kehadiran media massa menjadi salah satu lahan mereka. Jika media massa yang harusnya merupakan corong membangun peradaban yang lebih baik kini terkesan meninggalkan tugas mulia itu. Melalui media para kaum kapitalis sengaja menglairkan nilai-nilai baru yang jika di cermati lebih dalam, sangatlah tidak bermanfaat besar. Ironisnya, nilai-nilaii kearifan lokal atau nilai-nilai positif yang harus di kembangkan justru kurang mendapat tempat.

Konten media

Sasaran dari media massa adalah para khalayak yang ‘menikamatinya’. Jika ingin terus dinikmati media harus menghadirkan kabar atau tayangan yang sesuai dengan selera pasar. Tidak lain ini demi pencarian ke untungan yang sebesar-besarnya. Sehingga tidak mengherankan banyak muatan media yang tidak memdulikan kondisi masyarakat. Harusnya media dengan sigap menguhkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan (kearifan lokal) dan dapat memacu kesadaran sosial masyarakat. Tapi yang justru terjadi malah sebaliknya, bahwa media hanya semakin menjadi pengepul asap kotor untuk lebih merusak nilai-nilai sosial yang ada dengan memasukan nilai-nilai asing yang tidak perlu untuk masyarakat kita. Konsekuensinya  masyarakat semakin terbuai dalam kubangan nilai-nilai (budaya) sampah nantinya akan berpengaruh akan semakin carut marutnya persoalan bangsa ini.

Setidaknya inilah logika dasar, kenapa media hari ini sesering mungkin mengabarkan tentang berbagai kasus carut-marut di negeri ini. Padahal kontennya banyak memuat hal yang tidak seharunya ada dan tidak patut sesering mungkin di tayangkan. Tapi inilah industry yang selalu menjadikan rating sebagai tujuan prirotas, meskipun tayangan tersebut tidak memberikan manfaat yang baik untuk khalayak media yang menyaksikannya.  Sehingga jangan heran jika nilai-nilai kebaikan sosial yang sudah ada dari dulu harus tergerus. Jangan heran juga dalam masyarakat nantinya akan muncul berbagai perilaku yang  menyimpang dari norma sosial yang ada.

Selain media yang konsern terhadap pemberitaan, juga ada media yang fokus pada entertainment (hiburan). Berbagai acara atau pemberitaan dengan segala kemasan di produksi di media ini. Jika di amati pun sama dengan media yang konsern terhadap pemberitaan. Banyak program acara berupa hiburan tapi hiburannya pun tidak berkualitas. Hiburan dalam media kita umunya mengdopsi sistem budaya populer yang hanya memberikan kesenangan sesaat. Banyak kelucuan yang di hadrikan tapi sangat miskin akan nilai-nilai kehidupan yang patut di contohi. Padahal media dalam fungsi idealnya adalah memberikan kebaikan bagi kehidupan kemasyarakatan.

Tapi bagaimana pun juga, harus di akui masi ada kebaikan dari tayang-tanyangan di media. Terdapat juga beberapa program acara yang patut di apresiasi. Tapi jika di presentasikan, program acara seperti ini sangatlah sedikit. Jika sudah demikian tak pelak lagi, sikap pesimistis terhadap nasib bangsa ini selalu saja ada. Meskipun kita tetap harus memiliki sikap optimis itu.

Tidak perlu menjadi wakil rakyat

Demokrasi mengharus kebebasan. Selain kebebasan media, juga kebebasan untuk siapa saja untuk terlibat dalam sebuah pesta demokrasi untuk memilih maupun dipilih. Hari ini dalam perpolitikan di Indonesia, telah ramai-ramai para raja (pemilik) media-media besar terlibat dalam politik praktis. Masing-masing memiliki agenda yang katanya mulia untuk membangun bangsa ini. Berbagai iklan dan kampanye di sebarkan terutama melalui media-media yang dimilikinya.

Dengan retorika yang di indahkan dan janji yang di maniskan mereka akan bersedia menjadi wakil rakyat Indonesia. Tapi justru mereka tidak sadar untuk tidak perlu terlalu banyak bicara jika ingin membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Mereka tidak mesti menunggu terpilih menjadi wakil rakyat kemudian dengan kesungguhan akan terlibat memperbaiki nasib bangsa. Sekarang saja mereka sudah bisa melakukannya, terutama lewat media yang mereka miliki.

Seperti yang di jelaskan sebelumnya di atas, banyak program acara dalam media-media mereka sangat tidak mendidik masyarakat. Padahal media adalah bagian dari pilar demokrasi yang sangat penting. Jika media kita bermasalah maka tentunya demokrasi kita pun demikian. Demokrasi bukanlah hanya pada bagaiamana mengikuti pemilu dengan jujur dan adil. Bukan pula bagaiamana mengurus partai politik hingga menjadi wakil rakyat yang baik. Tapi lebih dari itu, demokrasi harus lebih substansi. Keadilan, kesejatraan dan kedamaian dalam masyarakat itu sangat penting. Maka media sangat berpran dalam hal ini. Media punya fungsi kontrol yang baik dan fungsi pengeras suara akan nilai-nilai kebaikan dalam masyakat.

Harusnya pemilik media sadar se sadar-sadarnya bahwa mengutamakan kebaikan nilai-nilai kehidupan adalah hal yang terbaik dibanding memburu ke untungan material (uang).  Mungkin bahasa kasaranya, tidak perlu dulu para raja media ini bekerja terlalu keras untuk berpatisipasi dalam upaya perbaikan peradaban bangsa. Bahkan tidak perlu mereka berkoar-koar berkampanye dengan janji-janji manis untuk menang dalam kontestasi sebuah pesta demokrasi. Cukup perbaiki dulu segala isi tanyangan atau konten di media-media miliknya. Itu saja sudah lebih dari cukup.

~Makassar, 16 Desember 2013

Komentar