Tidak ada aku dan kamu, melainkan kita

banjir manado (gambar: koleksi asep rahman)
 
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ar-Rum ayat 41
Akhir-akhir ini Makassar dilanda hujan. Di beberapa tempat lain juga begitu. Sebut saja Jakarta sebagai ibukota negeri ini. Juga, di manado yang kini (saat menulis tulisan ini) tengah di landa banjir yang besar. Untuk manado dalam dekade terakhir, banjir ini tergolong banjir yang besar. Bagaiamana mana tidak, ketinggian banjir hingga 2-3 meter.

Melihat dan mendengar banjir manado, saya teringat sahabat disana. Saya sebelumnya tidak tahu menahu perihal banjir yang menerjang kota mereka. Biasanya saya mendengar kabar-kabar seputar nusantara melalui televisi. Tapi kabar itu tidak saya mengetahuinya karena akhir-akhir ini lagi jenuh menonton televisi yang isinya terlalu membuat pikiran semakin kalut. Untunglah saya membuka media sosial (FB), di situ sahabat saya meng-upload foto-foto banjir yang sudah menenggelamkan rumah. Dari cara pengambilan fotonya, terketahui bahwa sahabat ini, sedang di atas atap sebuah rumah demi menyelamatkan diri.

Fenomena global

Terkait banjir, tidak dapat dipisahkan dari tingginya curah hujan. Meskipun sebagaia fenomena alam tapi bukanlah berarti terjadi secara alamiah begitu saja, melainkan manusia memiliki andil dalam menerjadikannya. Jika dahulu hujan biasa-biasa saja terjadi, sehingga tidak menyebabkan banjir kini hujan semakin tidak menentu sehingga dampaknya pun tak menentu.

Fenomena alam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Ini fenomena global yang di alami oleh seluruh masyarakat dunia. Di beberapa negara timur tengah, tiba-tiba saja di guyur salju. Padahal sebelumnya mereka jarang bahkan tidak sama sekali di sambangi oleh salju. Di Australia yang secara geografis terletak dibagian bumi paling selatan yang berdekatan langsung dengan benua antratika yang dingin, tiba-tiba saja kepanasan. Bahkan para peternak domba harus mengalami kerugian akibat banyaknya domba yang mati karena kepanasan bahkan sempat terdengar adanya kebakaran oleh penyimpangan cuaca ini. Juga, di AS bagian utara yang mengalami suhu dingin yang ekstrim hingga beberapa wilayah lautannya membeku. Serta berbagai anomali cuaca lainnya.

Ketika alam sudah tidak seimbang, maka dia akan menyeimbangkan dirinya sendiri. Anomaly cuaca ini sesungguhnya hanyalah cara alam untuk menyeimbangkan tubuhnya.

Aku, kamu dan kita

Dalam kisah percintaan tak jarang terdengar retorika gombal dari seorang kekasih kepada kekasihnya. “sayang, cinta itu bukan aku dan kamu tapi kita” misalnya. Demikian pula yang terjadi pada hubungan antar manusia dan alam/lingkungan sekitarnya. Dahulu hubungan manusia bisa di katakan menyatu dengan alam. Tidak ada indentitas ‘aku dan kamu’, manusia dan alam. Keduanya menyatu menjadi ‘kita’. Itulah cinta.

Penyatuan ini menjadikan manusia selalu merasa bagian yang tak terpisahkan dari alam. Dia tidak tega untuk menyakiti dirinya (baca:alam). Adapun jika dia membutuhkan alam untuk keperluan makan (ekonomi), dia mengambil secukupnya sesuai kebutuhan. Alam pun merasa nyaman-nyaman saja.

Seiring berkembangnya zaman, hubungan cinta keduanya, alam dan manusia mulai renggan. Manusia kini menampakan egonya. Indentitas diri mulai di tunjukan. Kini dia memposisikan sebagai subjek tersendiri dan alam adalah objek tersendiri. Bukan lagi kita sebagaiamana pada awal-awal percintaan melainkan telah menjadi aku dan kamu. Aku adalah manusia dan kamu adalah alam. Manusia secara perlahan dengan tingkahnya menunjukan ke angkuhan terhadap alam. Dia memanfaatkan dan menguras alam sesukannya dengan berbagai cara dan modus. Alam pun merasa sedih dan tersakiti.

Alam tidak tinggal diam. Jika manusia angkuh, alampun ikut angkuh. Memberi bencana alam berupa banjir misalnya, gunung meletus misalnya. Manusia kewalahan menghadapinya. Manusia mulai menyesal tapi ada juga yang biasa-biasa saja, untuk tidak berpikir perihal aktivitas manusia selama ini, yang membuat alam marah.

Saya teringat ucapan cak nun: “identitas kita yang sesungguhnya bukanlah aku dan kamu, melainkan kita”

~Makassar, di saat hujan yang tak bosan-bosannya mengguyur kotaku, 16 Januari 2014

Komentar