Kurikulum pendidikan individu

Gayatri. Yah, dia seorang anak yang ajaib. Bayangkan saja, diumurnya yang belum mencapai dua dekade, dia sudah menguasai lebihdari sepuluh bahasa secara otodidak. Dia tidak pernah ikut kursus sebagaimana banyak orang lakukan untuk menguasai bahasa tertentu. Dengan kemampuan, metode serta strategi sendiri, dia mampu membuktikan bahwa belajar itu bisa bisa dilakukan dengan banyak cara, tidak mesti harus mengikuti cara-cara mainstream. Apalagi jika selalu mengikuti sistem atau kurikulum yang ditetapkan oleh lembaga tertentu atau institusi yang bernama negara.
 
Saya tidak ingin membahasa gayatri lebih dalam di sini. Saya hanya ingin mengucapkan turut berbela sungkawa karena gadis ini belum terlalu lama ini (saat menulis tulisan ini) telah dipanggil oleh sang Kuasa untuk menghadap pada_Nya. Semoga amal ibadahnya mendapat tempat yang layak dan dosa-dosa terampuni,  Al Fateha. Smoga kita menginspirasinya.
 
Beberapa hari yang lalu, saya juga bertemu dengan orang yang mirip dengan Gayatri. Dia juga menguasai beberapa bahasa dengan cara belajar sendiri (otodidak). Saya berdikusi banyak dengannya tentang bagaimana bisa menguasai bahasa dengan sistem pendidikan ala dia. Saya terkagum-kagum dengan ceritanya. Lagi-lagi saya terinspirasi.
 
Hemat saya, kedua orang ini sebagai anti thesa dari sistem mainstream yang dianut oleh kebanyakan orang. Kita selalu terpaku dan tergantung pada sistem atau konsep budaya pendidikan kita yang turun temurun. Bahwa jika ingin cerdas harus mengikut pada sistem sekolah formal. Atau jika ingin menguasai bahasa asing harus mengikuti kursus di lembaga bahasa tertentu. Saya pikir ini paradigma yang kurang tepat.
 
Dalam kasus belajar bahasa inggris misalnya, saya ingin mengajukan pertanyaan kepada hadirin pembaca: Sudah berapa lama anda belajar bahasa inggris? Rata-rata kita akan menjawab sejak SD hingga universitas atau bagi yang bersekolah di desa yang tepencil dan tertinggal seperti saya mungkin sejak mulai dari SMP atau bahkan tidak sama sekali karena tidak pernah sekolah. Atau kalaupun sekolah guru-guru pengajarnya masih kurang kompeten. Pertanyaan berikut: Sudakah anda ahli dalam berbahasa inggris? Saya yakin, jika mengandalkan sistem pengajaran seperti di sekolah formal kita, maka sebagian besar dari kita atau bahkan semua akan menjawab: Tidak. 
 
Jika demikian faktanya, berarti ada yang salah dalam sistem pendidikan (pengajaran) kita. Jika kita berbicara sistem, kita akan berbicara seluruh pihak-pihak yang terkait krena sistem adalah kumpulan bagian-bagian yang bersatu. Mungkin karena gurunya, konsep belajarnya, kondisi kelas, siswanya, anggaran pendidikan termasuk gaji pengajar atau yang lainnya. 
 
Namun, dalam kasus kedua orang yang dibicarakan di atas menarik untuk kita ajukan pertanyaan: Kenapa mereka bisa se ahli itu dalam belajar? Okelah, ada faktor kecerdasan (kelebihan) yang dimiliki setiap manusia. Tapi untuk kasus belajar bahasa asing banyak orang cakap dengan belajar secara otodidak. Mereka tidak  menggantungkan diri pada sistem pendidikan kita yang ambu radul ini. 
 
Kurikulum Individu
 
Teori atau konsep atau sistem pendidikan, hemat saya tidak semua bisa digeneralkan atau di universalkan kepada semua peserta didik (siswa). Banyak teori lahir adalah adanya upaya melakukan penyamarataan (generalisasi) terhadap semua objek yang diteliti. Mengambil sampel kemudian mengeneralkan ke smua populasi. Padalah kemungkinan seluruh populasi berbeda dengan keadaan sampel yang diteliti adalah masih terbuka lebar. Untuk lebih sederhananya, saya berikan contoh.
 
Menurut dokter tidur ideal bagi manusia dalam sehari adalah 8 jam. Pertanyaannya: Apakah seluruh manusia pernah di teliti oleh sang dokter? Saya pastikan, jawabannya: Tidak. Bisa saja orang yang tidak diteliti tersebut tidak membutuhkan 8 jam tidur untuk kesehatannya. Bisa saja lebih atau kurang dari 8 jam. 
 
Inilah yang saya ingin tekankan. Setiap orang punya pola sendiri, metode, sistem, cara atau apalah namanya, untuk menguasai pengetahuan tertentu. Kurikulum atau sistem pendidikan hanya upaya menjeneralkan semua siswa atau pendidikan, padahal kondisi semua siswa tidak selamanya mereka ketahui. Atau kadang kurikulum pendidikan terlampau sok tahu dengan kondisi siswa secara umum, karena tidak selamanya siswa cocok dengan sistem pendidikan itu.
 
Sekarang, di tingkat elit tengah diperbincang kurikulum pendidikan untuk diterapkan di negeri kita, Indonesia. Terkesan setiap ganti pemerintah (mentri), kurikulum pendidikan juga ikut diganti. Inilah yang terjadi sekrang. Terjadi bongkar pasang kurikulum pendidikan. Pemerintah sekarang tiba-tiba secara mengejutkan mengganti kurikulum pendidikan yang digunakan oleh pemerintah sebelumnya. Konsekuensinya terjadi kebingungan dan ke’kacauan’ di tingkat pelaksanaan. 
 
Terlepas ideal atau kurang idealnya kurikulum pendidikan yang diberlakukan dan tengah diperbincangkan saat ini, saya masih yakin dengan metode kedua orang yang dibicarakan di atas  (gayatri dan kawan yg kutemui). Bahwa setiap pribadi manusia punya ruang sendiri untuk bermanuver belajar untuk memahami sesuatu tanpa harus tergantung pada sistem/kurikulum pendidikan. Lagi pula kurikulum pendidikan tidak menjamin semua siswa akan merasa cocok dengannya.
 
Sejatinya, kurikulum pendidikan apapun, sebaiknya memberikan ruang kreatif bagi siswa untuk mencipatkan metodenya belajarnya sendiri. Karena setiap individu punya metode, pola, teori, strategi, kurikulum atau sistem belajar (pendidikan) sendiri yang kadang hanya di ketahui oleh pribadinya sendiri. Yang demikian saya menyebutnya “kurikulum individu”. Mari belajar pada gayatri dan kawan saya di atas.

~Kesunyianlah yang membuatku menulis saat ini. Makassar, pukul 11:37, 13 Desember 2014

Komentar