Memoriku terseret ke masa kanak-kanak

Sore biasanya digunakan oleh sebagian orang untuk segera menyelesaikan tugas-tugas hariannya. Ada juga yang sudah selesai sehingga hanya sekedar mengisinya dengan aktivitas santai atau istrahat. Demikian dengan kami saat itu.

Saya dan beberapa kawan, duduk di pelataran salah satu Masjid di kota Makassar. Seorang kawan tiba-tiba bercerita tentang masa kecilnya. Cerita itu muncul lantaran, ada beberapa anak yang tengah bermain, bergembira ria di sekitar kami. Saya yakin anak-anak inilah yang membuat memori kawanku terseret ke masa lalu, saat dia masih anak-anak.

“Bahagia sekali mereka ya?” kawanku bertanya dengan pertanyaan retoris. Kami mengiayakan. Saya melihat saat itu anak-anak yang sedang bergembira ria di sekitar kami, begitu bahagia. Tak ada beban yang terpancar dalam raut mukanya. Asumsi saya, anak-anak ini tidak seperti anak remaja atau dewasa yang sering diperhadapkan dengan masalah-masalah hidup yang cukup berat membutuhkan penyelesaian. Yah, bagiku itulah dunia anak-anak yang ideal. 

Namun, asumsi saya tersebut bisa seketika terbantahkan, tatkala saya melihat bagaiamana anak lain se usia mereka tidak tertawa riang sebagaimana mereka rasakan. Lihat di belahan dunia lain. Tidak usah belahan tempat yang jauh, tapi lihatlah di belahan tempat di kota ini. Banyak anak-anak seumuran mereka, sore hingga larut malam masih di jalan. Mereka menjual koran, mengais sampah bahkan hanya sekadar meminta-minta belas kasihan orang lain.

Idealnya anak-anak adalah dunia penuh kebagiaan. Tanpa beban masalah. Pagi hari bangun. Belajar dan bermain dengan kawan sebayanya. Beribadah. Bercanda ria dengan keluarga. Di sayangi oleh orang sekitarnya. Tidur nyeyak tanpa beban masalah dan lainnya. Tapi inilah kehidupan. Bahwa pengharapan kadang tidak sesuai dengan kenyataan.

“Dahulu, ketika saya masih anak-anak, saya begitu penasaran dengan dunia orang dewasa. Bahkan saat itu saya menginginkan untuk menjadi dewasa” kawanku kembali bercelatuk. “Persis, saya juga”. Tapi bagiku ini bukan karena kebosanan akan dunia kami saat itu. Melainkan inilah dunia segala keingintahuan. Dunia yang ingin mencoba hal baru dengan kebebasan yang kadang tidak memikirkan resiko.

“Tapi justru sekarang sebaliknya. Aku ingin kembali lagi seperti masa anak-anak dahulu”. Dia melanjutkan lagi. Kami kembali mengamini yang dia katakan. Benar adanya, kadang kita rindu akan masa lalu. Rindu akan masa kanak-kanak. Tidak lain adalah seperti alasan tersebut di atas.

Demikianlah siliha bergantinya siang dan malam. Bahwa selalu memiliki dinamikanya sendiri. Tapi saya yakin setiap zaman, setiap fase dan setiap proses punya kebahagiaan tersendiri. Kita hanya di tugaskan untuk menjalaninya dengan baik dan mengambil segala kebaikan yang ada padanya. Kita akan bijaksana karenanya.

~Makassar, musim penghujan, saat aku masih menanti beberapa jawaban, 9 Desember 2014.

Komentar