Mudik dan Ketidakadilan

Sangat jarang kita melihat ruas-ruas jalan kota besar dengan  jumlah kendaraan yang padat, akan lenggang pada hari-hari normal. Artinya ada saat dimana ruas-ruas jalan ini akan lenggang atau para pengendara akan lancar berkendara tanpa banyak hambatan untuk sampai ditujuannya. Demikianlah realita yang terjadi dimoment idul fitri (mudik) dimana banyak tempat di Indonesia akan ditinggalkan oleh penghuninya, terkhusus lagi di kota-kota besar di Indonesia.

Adalah Makassar, salah satu kota besar yang ada di Indonesia. Kota ini sama halnya dengan kota besar lain di Indonesia, masyarakatnya bermudik secara massif. Wajar jika beberapa hari sebelum dan setelah momentum puncak (idul fitri), ruas-ruas jalan di Makassar secara perlahan mulai jarang terlihat kendaraan berlalu lalang. Karena kali ini saya tidak bermudik, ada perasaan legah tatkala berkendara bahwa dengan lancaranya melewati jalan demi jalan, tanpa macet.

Mudik secara massif ini menandakan bahwa kota selalu menjadi hal yang menarik untuk dikunjungi orang-orang dari berbagai pelosok. Sebenarnya, tinggal di desa jauh lebih nyaman dibanding tinggal di Kota. Di desa pola kehiduan masyarakat begitu menjunjung tinggi kebersamaan sedang kota cenderung individualis. Dari aspek lingkungan (alam) desa masih jauh lebih tentram. Kita akan langkah menemukan polusi udara, suara deru kendaraan bermotor atau “hutan-hutan beton” layaknya kita jumpai di perkotaan. 

Pembangunan yang tidak adil

Tapi ketertarikan manusia menjadikan kota sebagai tempat yang selalu di kunjungi, adalah adanya ketertarikan ekonomi, pendidikan, faislitas kesehatan atau segala fasilitas “keduniaan” lainnya yang lebih baik. Di desa hal-hal yang disebutkan ini sukar ditemukan. Apalagi ada paradigma berpikir yang terbangun bahwa kota adalah sesuatu yang “wah” dengan “kemajuan” yang dimiliknya dan selalu di anggap sebagai tempat lebih tinggi derajatnya (superior) sedangkan desa adalah tempat yang di bawah kota (subordinat).  Sehingga tidak heran jika banyak masyarakat desa atau tempat yang tidak memiliki fasilitas-fasilitas di atas, akan berbondong-bondong untuk mencari “kehidupan” dan ingin “menikmati” kota.

Jika ditelisik lebih dalam, kita akan mafhum tentang ketimpangan atau ketidakadilan pembangunan di Indonesia. Tidak usah kita berbicara jauh, kenapa hal ini bisa terjadi. Apalagi untuk membahasnya disini, terlampau rumit dan butuh berhalaman-halaman. Hal yang perlu kita tahu adalah pemerintah punya andil besar dalam mengkonsep model pembangunan kita hari ini. Bahwa pemerintah selama ini tidak adil dalam memberikan pelayanan kepada masyrakat. 

Baru-baru ini saya membaca sebuah berita, seorang mentri terkaget-kaget dengan harga barang yang ada di kawasan timur Indonesia yang begitu melambung tinggi bahkan berkali-kali lipat dibandingkan dengan harga barang yang ada di pulau jawa. Bagi saya, ini bukanlah informasi yang baru dan saya yakin telah banyak yang berpikir demikian, terlebih bagi kami (masyarakat) yang tinggal di kawasan timur atau selama ini jauh disentuh oleh pembangunan.

Ah, aku harus berhenti dari perenungan ini. Kemarin atau sehari sebelum aku menulis tulisan ini, saya mengendarai sepeda motor dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Kebetulan secara geografis bandara ini berlokasi jauh di pusat kota Makassar atau berbatasan langsung dengan kabupaten lainnya. Harapanku masih sama: kelenggangan ruas jalan akan mudah dinikmati sehingga saya akan dengan lancar berkendaraan. 

Ternyata manusia-manusia luar kota (desa) sudah “menyerbu” masuk salah satu kota terpadat ini. Ah, ternyata macet lagi. Semoga pemerintah kita segera siuman dan berlaku adil.

~Makassar, 8 Syawal 1436 / 24 Juli 2015

Komentar