Pernikahan; Perjalan menuju titik 0,0

Pembicaraan seputar topik ini adalah hal yang umum terjadi terutama di kalangan muda mudi, terutama lagi bagi mereka yang sedang ‘galau’ atau sedang mencari “pasangan jiwa” untuk melengkapi jiwa yang belum sempurnah. Atau mungkin yang sedang “menderita” atas pertanyaan: kapan menikah? Apalagi di momentum suasa idul fitri, wacana ini (baca: pernikahan atau acara kawinan atau walimah  atau apalah istilahnya)semakin ribut diperbincangkan bagai tawar menawar di pasar tradisional.

Di banyak tempat di Indonesia termasuk kampung halaman saya, menjadikan momentum idul fitri sebagai saat yang baik untuk melangsungkan pernikahan. Hemat saya, banyak alasan kenapa fenomena ini umum terjadi. Diantaranya karena idul fitri adalah saat berkumpulnya orang-orang yang melakukan mudik ke kampung halamannya, sehingga menggelar pernikahan akan berpeluang dihadiri banyak orang dan inilah keinginan kebanyak orang yang ingin menikah. Selain itu, dalam kacamata religius bahwa idul fitrih adalah momentum suci atau kita “lahir kembali” setelah terlepas dari dosa-dosa yang diproses selama ramadhan dan disempurnakan dengan merayakan kemenangan (idul fitri), sehingga memulai hidup baru dengan kekasih yang sah melalui pintu pernikahan adalah pilihan yang tepat.

Nikah; gejala muda mudi

Baru-baru ini seorang kawan menulis sebuah artikel yang berhubungan dengan topik ini. Tulisannya pun memaparkan betapa dia mencurahkan “penderitaan” yang selama ini merundungnya terkait pertanyaan: kapan nikah? Atau sindiran dari orangtuannya: itu sepupumu sudah menikah atau temanmu sudah punya anak (dan berbagai pertanyaan yang mirip.hehehe).

Selain itu, ada kawan yang tak kalah lincahnya. Beberapa kawan menelponku untuk menghadiri pernikahannya. Atau saat saya berselancar di facebook, tiba-tiba ada catatan pemberitahuan tentang undangan walimah (pernikahan). Bahwa lagi-lagi saya di undang untuk menghadiri pernikahan dan “parahnya”, ada yang mendoakan agar pernikahanku dimudahkan sampai di hari H nanti (siapa yg mau nikah dalam waktu dekat ini? Hehehe). Tidak kalah hebohnya, saya mendengar jika saudara sepupu akan segra menikah. Terlintas di pikiran saya: apakah semua kawan-kawan saya akan segra menikah? Atau apakah menikah adalah agenda yang memang harus segra dilaksanakan? Setidaknya ada hal yang saya tangkap dari beberapa kejadian ini yakni ternyata pernikahan telah menjadi bagian dari agenda prioritas kebanyakan pemuda (muda mudi).  Itu hal yang wajar.

Bu Guru: Mana calon istrimu?

“Mana calon istrimu?” Sebenarnya pertanyaan ini sejenis dengan pertanyaan: kapan menikah? Atau komentar: “kawanmu sudah nikah” atau “hei,,,kawanmu minggu depan akan nikah”. Atau kamu menghadiri pernikahan bersama kawan-kawanmu dan saat itu kamu hadir tanpa ada yang menemani (pasangan) sementara kawanmu yang lain datang dengan pasangannya (baca: istri/suami). Kira-kira demikianlah analoginya, hehehe.

Suatu hari saat saya di kampung halaman, ada kejadian yang entah dapat diartikan sebagai sindiriankah? Tegurankah?  Paksaankah? Intimidasikah? Motivasikah? Atau apalah, apalah, apalah. Jadi ceritanya, begini. Hehe.

Berjalanlah saya dikeramaian orang-orang. Momennya adalah kurang lebih sehari setelah lebaran. Saat itu adalah sebuah acara sunnatan anak tetangga. Di kampungku, acara semacam ini selain acara keagamaan juga merupakan bagian dari acara adat yang memiliki prosesi tersendiri. Saat sedang keasikan berjalan sendiri, tiba-tiba seroang ibu paruh baya memanggil namaku. Suara itu membuatku penasaran, seketika aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata beliau adalah guru agamaku waktu SD dulu. Saya cukup senang ternyata beliau masih mengenaliku karena selama ini saya jarang bertemu dengan beliau. Tapi perasaan senang itu, tiba-tiba sedikit berubah dengan entah perasaan apa. Karena beliau berteriak (bertanya) lagi dalam keramaian. “Mana calon istrimu?”. Seketika pandangan orang-orang disekitar situ tertuju pada saya. Alisku berkerut dan bertanya dalam hati: “Kapan saya bertunangan atau kabar dari mana saya telah memiliki calon istri?”. Wah, pertanyaan di luar dugaan.

Saat itu saya berharap diberikan pertanyaan tentang kabar karena sudah lama beliau tidak bertemu dengan saya. Tapi saya tidak marah, justru tersenyum dan sedikit tertawa dan berkata: “Dengar dari mana bu? Saya belum pernah bertunangan ataupun punya calon istri”. Beliau melanjutkan komentarnya “Soalnya lama tak bertemu, ternyata kamu sudah besar ya. Sudah pantas untuk menikah. Tadi saja hampir aku tidak mengenalmu”. Ujarnya dengan suara yang masih cukup keras. Tapi saya tidak pernah memandang komentarnya sebagai sesuatu yang negatif. Saya mengggapnya sebagai kelakar pembuka untuk masuk ke sesi ngobrol atau beliau memotivasi saya.

Menuju kordinat 0,0 (nol koma nol)

Tidak dapat dimungkiri, menikah adalah bagian dari kebutuhan manusia. Selain persoalan bagaiamana hasrat alami (biologis) yang harus dipenuhi oleh manusia, juga agama (islam) dimana menikah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh penganutnya.

Menikah adalah perjalan menuju titik 0,0 (non koma nol). Mungkin sering mendengar istilah sepasang hati atau separuh jiwa. Isitilah ini biasanya dilekatkan ada dunia ‘per-asmara-an’. Dimana muda mudi selalu mencari pasangan hati atau separuh jiwa pada lawan jenisnya.

Tuhan telah mencitakan alam semesta dengan keseimbangan. Ada siang-malam, terang-gelap, kaya-miskin, besar-kecil termasuuk ada hati yang harus di pasangkan atau jiwa yang harus menyatu menjadi satu hingga mencapai titik keseimbangan. Jiwa yang seimbang inilah yang akan dicapai melalui pencarian dan kemudian disahkan dengan pernikahan. Keadaan yang seimbang akan membuat manusia menjadi tenang. Mungkin inilah salah satu alasan Tuhan memerintahkan agar manusia menikah karena menikah akan menyempurnakan sebagian agama. Dan juga mungkin inilah alasan kenapa banyak orang yang telah menikah berkata: nikah itu membuat tenang!.  Menuju 0,0-menuju keseimbangan. Dari seimbang menjadi tenang, dengan pernikahan.

Tentunya setiap orang punya rencana dan pilihan masing-masing. Semua akan indah pada waktunya.


~Makassar, 4 Syawal 1436 / 20 Juli 2015

Komentar