Golkar dan “tarian-tariannya”

Suatu pagi ketika sedang asik duduk menikmati pagi sembari sedikit membaca kabar-kabar seputar situasi sosial politik, kembali datang menemuiku seorang bapak paruh bayah. Beliau seorang yang dipercaya untuk mengelolah kos-kosan tempat saya berdiam. Entah kenapa dengan si bapak, akhir-akhir ini sering menghampiriku untuk berdiskusi tentang situasi politik nasional. 

“Kenapa pak Setya Novanto yang terpilih jadi ketua Golkar? Bagaimana dengan kasus “papa minta saham”? Golkar akan kurang disukai masyarakat karena pilih setya novanto”.  Demikian kurang lebih todongan pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa Indonesia aksen Makassar yang mengawali diskusi kami pagi itu.

Benar, politik kadang bagai peta yang lusuh dan sulit untuk dimaknai. Oleh banyak ahli, politik dimaknai sebagai seni meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu. Jadi jangan heran, jika politik selau memutarbalikan logika demi pencapaian kekuasan tersebut.

Tarian Ical

Banyak yang sudah menduga, Setya Novanto (SN) akan memenangkan pertarungan dalam arena munaslub Partai Golkar. Jika Bang Yusran darmawan menyeut Aburizal bakri (Ical) mulai dan akan tergeser dalam kekuasaan di Golkar, saya agak kurang sependapat. Hemat saya, justru dukungan ical lah yang membuat SN memenangkan kompetisi.


Mari kita lihat dari sedikit kebelakang tentang konflik Golkar. Setelah hampir dua tahun partai berlambang pohon beringin ini dirundung konflik dualisme, akhirnya melalui forum munalub hal itu terselesai. Sebenarnya jika Ical ingin berkeras untuk tidak mengadakan Munaslub, hal ini bisa saja dilakukan. Apalagi Kubu Ical secara hukum sudah di atas angin atas bantuan Prof. Yusril Iza Mahendara sebagai kuasa hukumnya telah memenangkan proses Hukum atas konflik dualism ini. Tapi atas kerelaan Ical akhirnya langkah itu diabaikan bahkan denda ratusan miliar yang harus dibayarkan oleh kubu Golkar munas Jakarta yang dipimpin oleh Agung Laksono dan kemenkumham juga dimaaafkan oleh Ical demi tidak terganggunya upaya rekonsiliasi. 

Namun, Ical bukanlah orang yang baru lahir dalam gelanggang perpolitikan nasional. Ical tidak akan menyerahkan kekuasaannya begitu saja tanpa ada goal yang ingin diambil. Singkatnya, Ical tidak akan membiarkan kekuasaannya hilang begitu saja sebelum memastikan kepentingannya sudah teramankan bahkan meskipun Ical sudah tidak berkuasa sebagai ketua umum partai Golkar tapi masih bisa bekerja dalam “ruang gelap” untuk mengontrol ketua terpilih, si “proxy leader”. Saya yakin langkah antisipatif pun telah dilakukan dengan langkah-langkah terukur untuk memuluskan agendanya tersebut.

Hemat saya, SN adalah pilihan Ical. Lihat saja, Bagaiamana SN mati-matian dipertahankan oleh Ical dalam kasus “papa minta saham” belum terlalu lama ini, meskipun pada akhinya SN harus kalah dan mundur dari jabatan ketua DPR RI, digantikan oleh Ade Komarudin (Akom). Tapi mengapa harus SN yang dipilih Ical? Bukankah Ical bisa memilih Ade Komarudin yang telah didukung oleh gerbong Jusuf Kalla ? atau Aziz Syamsuddin? Atau Air Langga yang merupakan kubu agung laksono yang kemarin didukung oleh pemerintah dalam konflik dualisme golkar? 

Inilah “seksinya” SN. Saya setuju dengan bahasa Bang Yusran Darmawan, “Kekuatan SN itu ada pada kelemahan-kelemahannya”. Kelemahan inilah yang dijadikan senjata untuk alat tawar menawar (bargaining position) Ical untuk pemerintah. Saya setuju bahwa pemerintah (Jokowi) akan mencari pemimpin yang “cacat” secara hukum serta cacat dalam opini dan ingatan publik. Dengan “cacat” itulah menjadi senjata pemerintah untuk menekan dan mengendalikan SN dan Golkar dalam koalisi pemerintahan nanti. Akom yang pada faktanya adalah saingan serius SN terlalu sempurnah untuk memimpin Golkar. Kesempurnaan tanpa kecatataan akan menjadikan Jokowi sulit untuk mengontrol Golkar. Pemimpin sempurnah inilah yang tidak di inginkan Jokowi. Mungkin bahasa lainnya “Kesempurnaan Akom justru menjadi kelemahannya”.

Alasan inilah Ical tidak “menawarkan” Akom pada Jokowi karena “harga” Akom cukup murah di banding “harga” SN. Jokowi lebih suka membeli SN yang mahal tapi “berkualitas” karena akan menguntungkan Jokowi. Nah, kenapa Jokowi “berdagang” dengan Ical? Kenapa bukan gerbong lain, semisal gerbong JK ? atau Gerbong Akbar tanjung? Bahkan Gerbong Cendana yang bisa dikatakan punya jasa besar dalam eksistensi Golkar dalam sejarah Golkar hingga hari ini ? Inilah kekuatan Ical yang tidak dimiliki oleh kekuatan-keuatan (gerbong) lain dalam tubuh Golkar. Sederhanya Ical punya “harga” mahal dibanding faksi-faksi lain dalam tubuh Golkar. 

Coba bayangkan selama hampir dua tahun, Ical yang merasa “dizalimi” dalam konflik dualisme ini tiba-tiba mau mengendor begitu saja untuk kalah pada “perang dingin” ini, mungkinkah? Ical bukanlah petarung yang mudah kalah apalagi sudah “terlanjur basah” dalam perebutan pengaruh di Golkar. Sekali lagi, Ical bukanlah orang baru atau bodoh dalam memahami peta jalan politik Golkar dan nasional. Lihat saja, dalam masa damai (proses rekonsisliasi) dimana kemenkumham memberikan legitimasi pada Ical untuk mengambilalih Golkar. Momentum ini dimanfaatkan betul olehnya untuk melakukan konsolidasi kekuatan. Selain pengaruh kekuatan yang selama ini telah disemai selama periode kepemimpinannya,  semakin bertambah kuat ketika momentum “masa damai” ini Ical melakukan blusukan ke DPD-DPD tingkat I dan II untuk menanamkan dan menebarkan pengaruhnya kembali, sehingga mereka (baca: DPD I dan II) bisa dalam kendali. Inilah kekuatan dan “harga” Ical yang tidak dimiliki oleh JK, Akbar Tanjung, Cendana dan lainnya, sehingga membuat Jokowi “jatuh cinta” padanya.
sumber foto: dari akun tweeter resmi Aburizal Bakri, saat hari-hari menjelang Munaslub Golkar

Mari kita amati gambar di atas. Gambar ini dipajang oleh Ical dalam akun resmi twitternya saat hari-hari menjelang munaslub. Dari sekian banyak moment, kamera pasti membidik namun Ical memilih foto ini untuk di “tweet”. Karena beliau adalah seorang politisi, maka perlu kiranya kita melihatnya dalam kaca mata komunikasi politik pula. Terlebih momentumnya adalah momentum yang tepat yakni menjelang munaslub. Sikap santai dan senyuman Ical sembari merangkul beberapa kandidat yang diantaranya adalah SN, bukanlah tanpa maksud. Gestur ini mudah dibaca bahwa Ical sedang memegang kendali. Ical sedang mengirim pesan kepada siapapaun termasuk lawan-lawan politiknya juga pemerintah bahwa kekuasaannya sedang kuat-kuatnya. Bahwa “saya sedang berkuasa ” atas kandidat-kandidat ini.

Kekuatan Ical juga bisa terlihat bagaiamana proses yang terjadi dalam Munaslub. Dalam forum Munaslub, respon atas laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepengurusan Ical selama memimpin Golkar tidak ada yang menolak. Semua menerima tanpa syarat. Mungkinkah ini terjadi begitu saja secara alami? Tidak. Inilah tarian Ical.

Tarian Luhut

Satu lagi aktor yang selalu disebut-sebut ikut berpengaruh besar dalam kemenagan SN. Dialah Luhut Binsar Panjaitan. Luhut adalah seorang jendral cerdik dan “licin”. Salah satu jendral kopasus ini lihai membaca situasi. Mari kita seret ingatan kita pada masa menjelang pemilihan presiden atau kampanye 2014 yang lalu. Ketika Golkar menyatakan sikap untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta, Luhut mengundurkan diri dalam struktur kepartaian Golkar kemudian menyebrang mendukung pasangan Jokowi-JK. Sebagai jendaral yang matang siasat, Luhut punya kalkulasi matang bahwa mendukung Jokowi-JK adalah mendukung kemenangan. 

Banyak yang kurang tahu apa tujuan tertinggi dari sikap luhut atas dukungan terhadap pasangan Jokowi-JK. Tapi dalam politik yang pasti adalah logika mencari serta mengamankan kepentingan (kekuasaan) termasuk kenapa Luhut harus mendukung Jokowi-JK. Jangan heran dengan kelihaiannya, Luhut kini menjadi salah satu mentri yang cukup berpengaruh dalam cabinet Jokowi-JK. Bahkan sampai berpengaruhnya, PDI P sebagai partai pengusung dan asal Jokowi  sudah banyak kali mengirimkan pesan ketidaksukaan atas Luhut. Namun kecerdasan dan posisi tawar  Luhut yang kuat sehingga dalam reshuffle kabinet, luhut tidak mampu tersingkir.

Luhut juga kembali menunjukan taringnya dalam momentum munaslub Golkar. Bahkan saking hebat dan percaya dirinya, Luhut mencatut nama presiden dalam kunjungannya lokasi munaslub dengan menyatakan bahwa presdien lebih suka pemimpin Golkar yang tidak rangkap Jabatan. Rangkap jabatan itu di tujukan untuk lawan serius SN yakni Akom yang sedang menjabat sebagai ketua DPR.  Jika menganalisa konteks saat itu, Luhut sebenarnya secara tidak langsung menyampaikan dukungan presiden pada SN. 

Saat itu luhut ibarat Jubir presiden karena luhut sebagai kader Golkar punya jaringan kuat ke partai ini. Disinilah posisi Luhut semakin menguat dalam pemerintahan Jokowi-JK. Selain Jokowi, saya juga menduga PDI P meskipun sering mengecam Luhut namun partai asal Jokowi ini masih membutuhkan keberadaan Luhut untuk mereduksi pengaruh JK. Posisi ini sama dengan keberadaan Mentri Kordinator bidang Kemarimian, Rizal Ramli, yang sengaja ditanamkan dalam kabinet Jokowi-Jk. Rizal ramli adalah representasi pengaruh Megawati dan PDI P untuk mengamputasi pengaruh JK. Jangan heran, jika dalam beberapa kasus mentri Rizal Ramli mendebati JK secara terang-terangan di media massa. Tentunya Rizal Ramli tidak akan berani melakukan hal itu jika tidak ada kekuatan besar yang mem back-up dari belakang. Terlebih tersebar isu dan trauma politik yang berkembang tentang gaya politik JK dalam posisinya sebagai Wakil presiden yang cenderung akan mendominasi kekuasaan presiden. Ini ketakutan bagi Jokowi dan pendukungnya termasuk PDIP. Karenanya Luhut semakin kuat dan posisinya semakin di atas angin. Inilah tarian Luhut.

Pemerintahan stabil dan tarian Jokowi?

Tidak hanya menguntungkan Jokowi-JK, sesungguhnya bergabungnnya Golkar juga menguntungkan Golkar sendiri. Kepuasan kinera yang tinggi dari masyarakat terhadap pemerintah seperti hasil survey resmi Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) belum terlalu lama ini, membuat partai politik yang mendukung pemerintah akan mendapat imbas positif. Dukungan rakyat terhadap pemerintah berarti dukungan rakyat terhadap partai-partai pendukung. Mungkin alasan ini pula PKS mulai sedikit melentur dan menunjukan gelagat untuk lebih ‘soft’ dalam mengawal Jokowi-JK. 

Bergabungnnya Golkar membuat pemerintah semakin kuat karena dapat menjaga stabilitas politik sehingga program-program pemerintahan dapat berjalan secara efektif. Meskipun itu, tidak berarti Golkar akan tunduk begitu saja pada keinginan Jokowi. Sebagai partai yang cukup tua dalam dinamika perpolitikan nasional, Golkar sudah sangat lihai dalam “menari” di atas medan pragmatisme politik di negeri ini. Di masa pemerintahan SBY, Golkar juga cukup merepotkan SBY karena tidak selamanya setiap kebijakan SBY didukungnya. Apalagi hari ini, salah satu fokous utama setiap partai adalah bagaiamana memenangkan pilkada serentak 2017 serta pemilihan legislatif dan presiden 2019. Tentunya setiap partai akan bermanuver sesuai agenda kemenangan dalam momentum-momentum yang semakin hari semakin mendekat tersebut. Agenda-agenda Jokowi-JK sangat mungkin akan terhambat.

Belum lagi jika berbicara isu reshuffle yang selalu dihembuskan. Apalagi dukungan partai-partai yang dahulu tergabung dalam koalisi merah putih (KMP) yang oposisi semisal PAN, PPP atau Golkar, bukanlah tanpa ada tawar-menawar. Dalam politik, pragmatisme selalu menjadi karakter yang selalu melekat dan sulit untuk dilepaskan. Mendukung berarti ada sesuatu yang harus didapatkan. Reshuffle menjadi isu yang cukup panas karena terjadi tarik-menarik antara pihak yang punya banyak kepentingan termasuk partai politik, tidak terkecuali partai yang dahulu tergabung dalam KMP. 

Partai yang selama ini mendukung dari awal kampanye pilpres hingga sekrang tidak akan rela begitu saja melepaskan jatah kursi menterinya. Demikian juga partai yang menyeberang keluar dari koalisi KMP tentunya ingin mendapatkan jatah menteri karena kursi menteri adalah cara setiap partai politik menebarkan pengaruhnya. Belum lagi kelompok lain seperti pebisnis yang ikut andil dalam pemenangan Jokowi-JK, mereka tidak ingin kehilangan pengaruh sehingga kerajaan bisnisnya terus terjaga. Kelompok yang tidak berafiliasi dengan parpol atau pebisnis pun, katakanlah mentri Anis Baswedan, tidak juga mudah disingkirkan karena telah mendapatkan legitimasi dukungan dari rakyat Indonesia. Antara partai pun akan lahir frame “partai berkeringat” yang mendukung sejak kampanye dan “partai tidak berkeringat” yang belakangan bergabung. Jika Jokowi-JK tidak cermat dalam mengelolah berbagai kepentingan ini, kegaduhan dan gesekan kepentingan menjadi hal yang niscaya. Golkar cerdik menari dalam kerumitan ini.

Ini semua tergantung Jokowi-JK bagaiamana merespon tarik menarik perbedaan agar pemerintahan tetap stabil dan seimbang. Jokowi punya modal besar untuk melakukannya. Dukungan rakyat semakin bertambah demikian pula dukungan partai-partai pun semakin kuat. Dalam system multipartai, dukungan banyak partai akan membuat Jokowi akan mudah bermanuver sehingga posisi tawar akan semakin besar, sehingga PDIP yang selama ini menyebut Jokowi petugas partai akan semakin ketakutan dan berhati-hati. Jika Jokowi lihai dalam “menari” diatas banyak momentum ini, pengaruh dan keuatannya akan semakin besar. Jokowi akan sangat mudah menghindar intervensi dari satu partai politik. 

                                                              ***

Setelah cukup lama berdiskusi, akhirnya saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan si bapak paruh baya di awal tadi. “Bagiku, dalam logika politik satu ditambah satu tidak selalu sama dengan dua karena politik adalah tentang siapa mendapat apa”. Entahlah……….. 

~Makassar, 22 Mei 2016

Komentar