Saya mengikuti nasihat Imam Syafii saja

Beberapa hari saya terjebak dalam diskusi/debat di media sosial. sebenarnya tidak cocok saya sebut terjebak karena saya sengaja lakukan. Saya punya tujuan tertentu. 

Dan kadang juga geram melihat tulisan yang menurut saya salah dan memprovokasi dimana korbannya adalah orang-orang yang tidak punya kemampuan berpikir kritis. Mereka menerima begitu saja, apalagi sejak awal pengetahuan tentang perihal tersebut memang tidak ada. Karenanya, saya merasa punya kewajiban untuk mengomentari dan memberikan bukti (data) agar argument saya lebih kuat.

Beruntunglah kalian yang punya lawan diskusi adalah orang-orang yang paham materi dan berjiwa besar menerima kekuarangan diri sendiri dan kebenaran argument pihak lain (tentunya sebaliknya juga harus berlaku untuk diri sendiri). Jika tidak, anda akan repot sendiri. Bahkan akan ikut-ikutan dalam debat kusir yang tidak substansi. 

Ini yang saya hadapi dan memang dari dulu orang-orang seperti ini di media sosial sangat banyak (saya tidak bermaksud angkuh untuk mengatakan saya paling hebat. Tidak. Saya coba objektif disini). Bahkan ini juga alasan kenapa saya meninggalkan beberapa media sosial sejak dulu dulu.

Umumnya orang-orang semacam ini akan muncul ketika berdiskusi tentang politik. Mereka biasanya adalah penggemar berat bahkan sudah sampai tahap pemujaan bahkan lebih mengerikan lagi bisa dikatakan telah sampai pada tahap “penabian” terhadap tokoh politik tertentu. Wabah ini tidak hanya merasuki orang-orang dengan tingkat pendidikan yang rendah melainkan juga pengenyam pendidikan bahkan mendapat gelar professor. 

Jika wabah ini telah mengena ke manusia, maka akalnya akan lumpuh untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Kebenaran hanya untuk dirinya dan membenarnya tokoh pujuaannya. Informasi yang hanya mereka baca dan terima adalah informasi yang hanya mendukung keyakinan awalnya. Banyak yang menyebutnya dengan istilah “Post Truth”.

Level orang-orang seperti ini juga bertingkat. Ada yang memang menguasai materi diskusi, ada juga yang asal bunyi bahkan asal terlihat keren, padahal sebenarnya tak makna. Belum lagi, yang loginya lompat-lompat seperti membuat kesimpulan yang tidak nyambung. Dalam ilmu logika, antara premis dan kesimpulan ibarat panggang jauh dari api. 

Apa yang saya lakukan jika berhadapan dengan mereka? Melayani mereka sama dengan membuang-buang energi dan waktu. Akan repot sendiri. Tapi kadang juga perlu memberikan pernyataan/pertanyaan yang mengunci dan sedikit sombong, kemudian tinggalkan forum diskusi. Fix. Hehe. Karena ada adagium yang pernah saya dengar: sombong terhadap orang sombong itu sedekah (koreksi jika salah). Meskipun adagium in situasonal sifatnya. Yah, mau bagaimana lagi.

Saya juga berpegang pada perkataan Imam Syafii dan saya yakin sang Imam (semoga Allah merahmati beliau. Aamin) juga pernah mengalami hal yang sama dengan apa yang saya alami. Beliau berkata (koreksi jika salah): “Saya akan menang jika berdebat dengan sepuluh orang pintar tapi saya akan kalah jika berdebat dengan seorang yang bodoh”. Kalimat lainnya adalah “cara terbaik merespon orang bodoh dalam debat adalah diam”. Perkataan Imam Syafii ini sangat benar. Saya mengikutinya.  

*maaf kalau pikirannya keseleo saat membaca, soalnya saya malas membaca ulang secara keseluruhan dan mengeditnya.

~Makassar, 23 Juli 2019, lewat sedikit jam 12 malam.

Komentar