Apakah Aku Perindu Itu?

Masjid Unhas sebelum renovasi
Agak aneh dan mungkin ada rasa sedih bahwa hari jumat masjid-masjid tidak seperti biasanya. Jika pada hari-hari jumat biasa, saban masuk waktu shalat jumat, suara-suara ngaji dari toa-toa masjid saling bersahutan. Tanda waktu shalat jumat akan segerah masuk. 

Namun sudah masuk minggu ke tiga, saya tidak ke masjid untuk shalat jumat. Selain memang banyak masjid sementara tidak menjalankan shalat jumat, juga setali tiga uang dengan anjuran untuk shalat di rumah saja. Sebagai gantinya, shalat jumat diganti dengan shalat zuhur.

Kondisinya memang memaksa demikian. Ini gara-gara virus sar cov2 yang menimbulkan penyakit  covid19. Popular dengan isitlah virus corona meskipun corona adalah virus yang punya jenis lebih dari satu. 

Fatwa dan himbauan dari otoritas terkait seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah dikeluarkan. Isinya adalah semua masyarakat diminta untuk menjaga jarak fisik atau menghindari kerumunan untuk memutus rantai penyebaran virus ini.

Tidak sulit mendapatkannya. Di media sosial surat edaran resmi terkait ini cukup bergentayangan. Orang-orang saling membagikan. Memang ini sudah eranya. Masyarakat sementara telah masuk pada digitalisasi era. Bisa dikatakan dalam dunia digital ini, infomasi segala hal sangat mudah didapatkan dengan cepat.

Meskipun shalat saya tidak sempurna baik secara kualitas maupun kuantitas, tidak adanya suasana jumat tersebut agak lain. Sebenarnya bukan hanya shalat jumat. Shalat-shalat wajib lain juga dianjurkan untuk dilakukan di rumah. Alasannya sama: hindari perkumpulan untuk mencegah penularan corona.

Masuk waktu magrib saya berada di dalam sebuah mini market. Di dalam hanya beberapa orang saja. Seorang kasir wanita mengungkapkan isi hatinya. “Kok kayak tidak ada orang yang shalat magrib ya? Lain ya?.” Celotehnya dengan nada datar dan terasa haru. Masjid memang tetap mengumandangkan azan. Sengaja untuk mengingatkan orang-orang bahwa waktu shalat sudah tiba dan saatnya untuk shalat. 

Di sekitar itu, azan terdengar dan saling memantul tapi tidak ada yang shalat berjamaah. Ada juga sih tapi hanya satu dua masjid saja. Mereka nekat. Meskipun saya tidak bagian dari mereka, saya berpikir positif saja. Mereka sangat rindu masjid dan tidak tega membiarkan masjid kosong tanpa ada jamaah yang shalat. Saffnya diatur berjarak untuk menghindari kontak secara langsung dengan jamaah lain di dalam masjid. 

Tapi ada juga masjid yang jamaah dan pengurus masjidnya kepala batu alias keras kepala. Tidak mau ikuti fatwa dan anjuran. Mereka tetap shalat berjamaah di masjid dengan saff yang rapat. Masih seperti waktu-waktu normal. Padahal situasi sudah masuk dalam kategori bahaya. 

Saya sejenak berpikir, apakah ini sebab dari level keimanan yang cukup tebal sehingga apapun yang terjadi tetap shalat di masjid seperti biasa? Atau apakah ini ketidak-tahuan (untuk tidak menyebut kebodohan) dengan mencampakan anjuran otoritas agama dan pemerintah yang memiliki pertimbangan-pertimbangan kesehatan dan kebaikan lebih luas? Untuk kasus yang terakhir ini, saya lebih sependapat dengan pertanyaan kedua. Mereka beragama tanpa ilmu. Ini bisa berbahaya, menurutku. Wallahu alam.

Kerinduan akan masjid ini sering jadi bahan pembicaraan banyak orang belakangan ini. Mau ke masjid untuk berjamaah tapi diminta untuk diurungkan. Rindu itu belum bisa dibayar tuntas. Ini berat bagi perindu apalagi levelnya sudah keterlaluan.

Namun, sadarkah kita: situasi ini masih di dunia? Bagaimana nanti kalau kita semua mati? Di dalam kubur. Di alam lain. Tidak ada lagi jalan untuk Kembali. Kembali menemui masjid. Padahal menurut banyak ulama, di alam sana, banyak sekali yang rindu akan rumah Allah ini. 

Banyak orang yang menyesal dengan sangat. Karenanya, ini seperti kode dari Allah. Kerinduan akan masjid tiba-tiba beriak bagai kolam tenang yang jatuhi bebatuan. Gelombangnya meengganggu tenangnya permuakaan air.

Di sebuah sudut kamar yang sunyi sembari menyeruput air hangat dan hujan baru saja mengguyur, saya terhentak: apakah aku perindu itu? Saya masih merenung.

~Pengembara sunyi, Markas besar perintis kemerdekaan km 7, Makassar, Jumat, 3 April 2020. 

Komentar