Ibu penjual nasi kuning dan penjual pakaian

(sumber gambar; https://ms.pngtree.com/)

Sambil duduk di kursi sebuah jualan di area pondokan Kampus Unhas, saya berdialog dengan Ibu penjual nasi kuning. Kursi itu memang miliki si Ibu yang diperuntukan untuk pelanggannya. Tapi saya dipersilahkan untuk menggunakan salah satu di antara deretan kursi yang kosong melompong itu.

Pagi itu saya baru selesai jogging di Unhas dengan kedua temanku. Mereka yang merupakan pengurus inti komunitas MAKES, Arman sebagai ketua umum dan Kaswal sebagai ketua harian, lagi ke mini market untuk membeli sesuatu.

“Sepi ya bu?” tanyaku untuk mengonfirmasi keadaan yang benar-benar sepi. Sebenarnya tidak sepi sama sekali karena ada seorang pelanggan yang sementara makan. “Iya, nak,” jawabnya yang dilanjutkan dengan guyonan. Memang bawaan si Ibu suka bercanda.

Kata si Ibu, semenjak ada virus corona yang menyebabkan penyakit covid19 jualannya menjadi sepi pengunjung. Nasi yang biasanya Ia masak 8 sampai 10 liter sehari, kini tinggal 2 liter. 

“Ayam juga, tadinya 3 ekor sehari. Sekarang seekor untuk dua hari,” lanjutnya.

Banyak hal hal yang berubah karena virus ini terutama di bidang ekonomi, terutama lagi pekerja sektor informal seperti si Ibu penjual nasi kuning ini. Atau pekerja-pekerja lain yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan harian. Jika tidak bekerja hari itu maka dapur mereka akan sulit mengepulkan asap. 

Pernah juga saya melihat video yang disebar oleh teman di media sosial. Video tersebut berisi seorang Ibu penjual pakaian menangis karena didatangi aparat keamanan untuk menutup jualannya. Video itu di Jakarta yang sedang melaksanakan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus yang mematikan ini. 

Ibu itu juga curhat bagaimana harus melunasi rumah kontrakan dan biaya keluarganya. “Di luar rumah bisa mati karena corona, tapi di dalam rumah saja bisa mati juga karena tidak ada uang,” curhatnya sambil menangis. Aparat keamanan juga dalam posisi dilema tapi mau tidak mau kebijakan harus dilaksanakan.

Sekedar informasi, saat artikel ini ditulis, covid19 telah menjangikiti satu juta lebih manusia di dunia. Dan sekarang yang lagi berat berjuang adalah negara super power Amerika yang menurut survey terakhir sistem kesehatannya paling kuat di jagad bumi untuk menghadapi pandemi ini, tapi sedang kewalahan.

Kembali ke Ibu cerita dua Ibu tadi. Inilah yang menjadi masalah berat sekarang. Kedua ibu tadi dan masih banyak lagi orang-orang yang sedang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan harian adalah kelompok yang paling terpukul. Jalan, bagi mereka, tampak buntu. Pemerintah memang memberi bantuan tapi tidak seberapa dan sering terhambat prosedur birokrasi. 

Kalau dalam perang mereka diserang dari semua sisi. Jualan di luar rumah, pelanggan berkurang. Pelanggan juga kadang enggan membeli makanan terutama karena pertimbangan kesehatan. Maksudnya memasak sendiri lebih terjamin kesehatannya karena kita sendiri yang menjaga kebersihannya dari awal memasak hingga tersaji. 

Belum lagi aturan pemerintah yang memerintahkan untuk mengurangi perkumpulan dan ajakan untuk tinggal di rumah selama pandemi ini belum berakhir. Daya beli pelanggan juga mulai berkurang karena banyak bisnis yang tutup dan karyawan dirumahkan. 

Ini belum kita bicara kelompok masarakat lain yang pasti ikut terkena dampak. Singkatnya, efek domino sangat terasa, bahkan banyak ekonom mengingatkan jika pandemi ini tidak bisa diatasi dengan baik maka akan menimbulkan resesi bahkan mungkin depresi global. Kita tidak berharap demikian.

“Bu' terimakasih, saya mau pulang dulu,”. Saat itu kedua kawanku sudah keluar dari mini market yang kasirnya lumayan cantik. Memang kasir inilah yang memotivasi mereka untuk ke bertandang tempat tersebut. 

“Iya, nak”.

Dalam perjalanan pulang keduanya berkata,"Sudah disampaikan kalau kita (Marwan Upi) salam sama dia". What??? kapan saya suruh kalian?.

Semoga pandemi ini segera berakhir dan kesadaran tolong menolong  kita semakin tumbuh dan terus subur. Aaamin. 

~Makassar, 13 April 2020

Komentar